Penjaja Bala-bala
Kertas tempat beragam aksara tertuang. Dalam bentuk yang tak sama,
Sabtu, 03 Oktober 2020
How Did I Meet You
Minggu, 02 Oktober 2016
Sepotong Langit Dan Untaian Doa
Hujan turun mengiring lelah mengantar lelap
Seru deru angin membuat hujan berdendang syahdu
Keping-keping biskuit mencoba mengantar bahagia
Kepada seorang perempuan yang takjim menghitung rintik air.
Di tempat lainnya seorang belia bergemuruh di jiwa dengan topeng
Acuh di wajah menanti gusar hari melepas janin.
Satu makhluk dalam rahim terlalu enggan hadir tanpa bapak.
Sekeliling ketar-ketir kalang kabut mencari cara mendapatkan angka-angka.
Seorang perempuan muda lelah mengeluh pada sekitar
Seorang pria lanjut usia berharap cemas kepada angin
Berharap dia tak menjatuhkan biji kopi yang sedang ditunggunya.
Seorang wanita paruh baya takjim berdoa untuk ladang juga padi yang beranjak tumbuh
Di sepotong langit pada malam di bulan Ramadhan
Doa-doa terlantun takjim dari mulut-mulut
Perempuan muda gadis belia pria lanjut usia juga wanita paruh baya
Berharap penuh pada kebaikan pemilik semesta
Untuk kemudahan dalam perkara gadis belia melepas janin.
Jakarta, 21 Juni 2016
Jumat, 30 September 2016
Kepada Adam
Aku datang padamu, Adamku
Bersama air mata yang rusuh memburu
Tersebab rasa sakit tak tertahan di jiwaku.
Aku percaya kau memiliki penawarnya
Pelukmu mungkin tak dapat menandingi kehangatan senja
Tapi bagiku kau seumpama pagi yang senantiasa memberiku asa
Ucapmu tak selalu dapat memupus lukaku
Tapi dengan kau disisiku rasa sakit tersamarkan.
Kumohon,
Tetaplah memeluk erat bahuku
Maka aku tak kan berpaling darimu
Berdirilah di depanku dan bantu aku meleawati badai
Jangan pernah lepasjan jemarimu dari tanganku sebab aku bisa goyah
Jadilah kuat untukku.
Kamu harus tahu,
Aku meyakini dengan sungguh keputusanku
Garis hidupku tentulah bersama denganmu
Aku memilihmu sebagai lelakiku.
Jakarta, 14 Maret 2016
Ps:Tulisan ini terinspirasi dari lagu berjudul 'Lelakimu'. Sengaja di buat penggalan kalimat sebagai jawaban dari lagu tsb.
Minggu, 25 September 2016
Teman Di Sabtu Malam
Minggu, 04 September 2016
Yang Demikian Itu
Aku sedang terjatuh,
Eranganku tersamarkan gelegar dunia.
Lalu saat sunyi menepi,
Manusia-manusia menolehku.
Menyemangatiku, menyoraki aku.
Memberi dukungan.
Sayang sekali, aku butuh lebih dari sorak sorai.
Aku membutuhkan seseorang untuk menggenggam jari jemariku.
Membantuku berdiri kembali lantas berjalan bersisian.
Berlari berdampingan.
Sungguh, aku ingin yang demikian.
Tapi manusia-manusia sekelilingku tak ada yang demikian.
Bahkan untuk sekedar berdiri dibelakang dan mendorongku sekalipun.
Tak ada pula yang berdiri didepanku lantas menunjukan arah tujuan.
Tak ada.
Meski demikian tak kupungkiri satu hal.
Bahwa jauh disana ada seseorang yang senantiasa setia.
Mengirimi doa di lima pergantian waktu saban harinya.
Aku yang serakah ini tak kunjung merasa cukup dikirimi doa dalam hening.
Aku ingin tangan yang nyata-nyata menggenggam jemariku.
Menghangatkan sekaligus menenangkan.
Kapankah dia akan datang?
Seseorang yang demikian itu.
Jakarta, 06 Juni 2016
Kamis, 28 Juli 2016
Surat Kepada Pria Bertopi
Kepada Pria Bertopi
Yang Bernama Klasik 'BUDI'
Aku menagamatimu diam-diam. Sesekali aku memperhatikanmu secara seksama. Saat kesepuluh jarimu lincah berlarian diatas tuts-tuts keyboard QWERTY.
Kau tampak seperti magnet ditempat itu. Menarik banyak serpihan bubuk besi sekelilingmu. Aku tak terkecuali.
Dari hasil rekaman yang kusimpan dalam mataku, kuku jarimu menjadi paling dominan. Sedikit lucu tersebab kau memanjangkannya.
Akh, kau ini pria macam apa? Memanjangkan kuku?
Begitulah kiranya benakku berujar.
Topi. Kau selalu mengenakannya. Tak pernah sekalipun kulihat beranjak dari atas kepalamu.
Dalam sekali waktu pernah aku melihat tulisan tanganmu. Bergaya miring dan rapih. Membuatku latah mengambil kesimpulan kau pria bertabiat halus.
Hingga hari ini, tak pernah sekalipun aku membuka percakapan pribadi denganmu. Meski di sepanjang tujuh bulan setiap jam enam sore aku melihatmu dan duduk dihadapanmu. Aku tak berani memulainya, meski hanya berbasa-basi. Yang keluar dari mulutku ini hanyalah barisan kalimat atas nama tugas pesuruh yang diucap berulang setiap harinya.
Aku yakin hingga hari ini kau tak pernah tahu namaku. Dan aku tak berniat memberitahumu. Sejujurnya ada surat yang pernah kutulis untukmu di Februari kemarin. Awalnya kupikir aku akan berani mengatakan dimana surat itu kusimpan dan meminta kau membacanya. Namun kini keragu-raguan muncul. Ketidakpercayaan diri mendominasi benak.
Apalah aku? Pesuruh berpakaian lusuh yang bahkan tak mampu menarik perhatian manik matamu meski sedetik.
Aku benar-benar rendah diri.
Tahukah kau? Sebentar lagi akan tiba waktuku meninggalkan kota ini. Pekerjaan ini juga menemuimu di jam enam sore.
Semoga tak ada ruang kosong dihatiku saat aku beranjak pergi.
Aki berharap semesta bisa membuat skenario indah pertemuan kita di esok lusa. Dan bila hari itu tiba, aku ingin tidak lagi memakai label 'pesuruh berpakaian lusuh'.
Jakarta, 28 Juli 2016
Dari Pesuruh Berpakaian Lusuh
Sabtu, 16 Juli 2016
Alarm Yang Menjegal Impian
Letihku bertambah perih,
Dua orang datang menghampiriku,
Berkeluh kesah lantas meminta pertolongan.
Aku?
Berkata 'Ya'.
Tidak hanya hari ini,
Di hari bulan juga tahun yang berlalu,
Aku selalu berkata 'Aku akan membantu'
Tak kuasa menolak permintaan apapun dari mereka.
Apa dayaku?
Mereka keluargaku.
Sulit untuk mengatakan 'Tidak'.
Aku berkata 'tidak merepotkanku'
Seringkali hati kecil berujar sebaliknya.
Keluhan panjang,
Tangisan berderai,
Kunikmati sendirian.
Aku lelah aku diam.
Aku marah aku diam.
Aku benci aku diam.
Aku kesakitan, menangis dalam malam menjelang mimpi.
Sesekali aku bertanya 'mengapa harus terjadi padaku?'
Pertanyaan yang kemudian hilang untuk muncul kembali.
Tanpa jawaban, hanya pertanyaan sama yang berulang.
Meningggalkan sesak yang membuat pelupuk mata menggenang.
Aku lelah bertambah perih.
Semua kutanggung seorang diri.
Mimpi-mimpiku berhamburan lagi.
Meloncat melompat.
Tergelincir jauh. Jauh sekali.
Getir aku melihatnya.
Jerih aku memandangnya.
Mimpi-mimpi yang kembali tersisihkan.
Atas nama 'CINTA'
Aku benci pada cinta yang membuatku perduli.
Aku lelah pada perduli yang membuatku selalu berkorban.
Aku memeluk impianku erat-erat.
Dan manusia-manusia disampingku menubruk menindihku.
Impian itu masih kupeluk.
Namun rupa dan bentuknya sudah tak kukenali lagi.
Siapa yang bisa kusalahkan?
Cinta yang membuatku terlalu perduli?
Saat terjatuh dalam perihku.
Terisak dalam gelapku.
Ada seseorang yang menyuruhku menunggu.
Hati kecilku.
Sisi baikku.
Sisi optimisku.
Aku merasa usahaku terlihat sia-sia.
Pengorbananku menjadi tampak tak berguna.
Demi uang aku menjauh dari rutinitas yang mampi mendekatkanku dengan pencipta.
Merapalkan doa memohon ampun di setiap waktu tanpa diikuti ibadah.
Demi uang yang kupikir dapat dengan segera menjemput mimpiku.
Tapi lihat hari ini?
Uang membuatku menangis tersedu.
Dia menjauh dariku menjegal usahaku mendekati mimpi.
Seperti alarm yang memutus tidur nyenyak.
Kalian sedikit banyak memutus mimpiku.
Yang indah.
Jakarta, 02 Juni 2016