Jumat, 30 September 2016

Kepada Adam

Aku datang padamu, Adamku
Bersama air mata yang rusuh memburu
Tersebab rasa sakit tak tertahan di jiwaku.
Aku percaya kau memiliki penawarnya

Pelukmu mungkin tak dapat menandingi kehangatan senja
Tapi bagiku kau seumpama pagi yang senantiasa memberiku asa
Ucapmu tak selalu dapat memupus lukaku
Tapi dengan kau disisiku rasa sakit tersamarkan.

Kumohon,
Tetaplah memeluk erat bahuku
Maka aku tak kan berpaling darimu
Berdirilah di depanku dan bantu aku meleawati badai
Jangan pernah lepasjan jemarimu dari tanganku sebab aku bisa goyah
Jadilah kuat untukku.

Kamu harus tahu,
Aku meyakini dengan sungguh keputusanku
Garis hidupku tentulah bersama denganmu
Aku memilihmu sebagai lelakiku.

Jakarta, 14 Maret 2016

Ps:Tulisan ini terinspirasi dari lagu berjudul 'Lelakimu'. Sengaja di buat penggalan kalimat sebagai jawaban dari lagu tsb.

Minggu, 25 September 2016

Teman Di Sabtu Malam





Kugoyang-goyangkan gelas kopiku. Kupandangi setengah isinya yang berwarna pekat. Lalu kualihkan pandangan pada kertas kosong dihadapanku. Pena hitamku masih tergeletak disana . Entah berapa lama aku sudah menunggu disini. Membiarkan pandangan menyibukan dirinya dengan keramaian.
Sabtu malam ini, langkah kaki menyeretku pada satu pojok yang menampilkan riuh rendah tawa juga obrolan berpasang kekasih.Hatiku makin teriris sakit. Mengingat penolakan yang baru saja kuterima siang tadi. Dan kopi hitam dihadapanku ini menambah pekat hariku. Pahit bertambah pahit.
Aku ingin melepas semua beban ini dengan makanan. Namun tiga puluh menit lalu aku hanya berputar-putar . menimbang mana yang setidaknya bisa sedikit memberikanku sensasi bahagia ditengah pilu. Dan aku hanya membawa duduk segelas kopi hitam.
Kusapukan pandangan keseliling dan kuputar-putar pena yang tadi kuletakan disamping buku yang kubawa.

***
Lalu kurasa seperti ada seseorang yang menyentuh pundakku.segera aku menoleh. Seorang pria berdiri disampingku.Dia tersenyum dan menyeret alam sadarku untuk mengagumi parasnya. Aku hanya mampu mengangukan kepalaku. Persis seperti pajangaan patung kucing di etalase toko.

" Sedang menunggu teman? " Tanyanya.
Aku menggelenkan kepalaku,lantas kulihat dia menarik keluar kursi kosong dihadapanku.
"Boleh aku duduk disini?" Lanjutnya sambil meletakan tas ransel di atas meja.
Lagi-lagi aku hanya menggeleng.
Dia melirik sekilas buku yang kuletakan diatas meja tadi. Yang belum kusentuh sedikitpun karena mandegnya ide.Kututup halaman kosong dan memasukan buku itu dalam tas.
Dia menopangkan dagu diatas telapak tangannya. 
"Mungkin jika kita mencari makanan dan perutmu kenyang, kamu bisa dapat ide yang mengalir dan menyelesaikan ratusan halaman buku malam ini." Ujarnya sambil terkekeh pelan.
Aku  tertawa mendengar candaannya. Kuanggukan kepalaku dan berdiri . Dia lantas ikut berdiri dan kami berjalan bersisian berkeliling  stand-stand mencari makanan yang menarik selera kami. 
Setelah berputar dan sempat bingung sebelumnya aku meutuskan untu memesan nasi goreng kambing kempuyuh.
"Hati-hati darah tinggi kamu, makannya  daging kambing."
Aku mengangguk. " Iya pak dokter, nanti daging kambingnya kupinggirkan dan dengan senang hati memindahkkannya kepiringmu. " Jawabku.
Dia mencubit pelan lenganku. " Harusnya kau tak memesan itu jika nanti ceritanya begitu." dengan muka seolah-olah merajuk.
"Aku sempat baca artikel tentang makanan ini tadi. Katanya rekomended, jadi aku tertarik untuk nyoba." Jelasku.


Lalu kami berjalan kembali. Dan dia berhenti untuk memesan semangkuk gudeg.


"Kenapa gudeg?".Tanyaku penasaran.
"Kangen rumah. Biar berasa pulang." Jawab dia singkat.
"Bagaimana Jogja?". Lanjutku
" Selalu baik dan bahagia kupikir. Tetap jadi rumah tempat pulang." Jawabnya sambil tersenyum kerarahku.
Kami lantas membeli dua botol air mineral sebelum kembali duduk dan menunggu pesanan kami diantar.
Setelah pesanan kami datang kami menikmatinya dengna lahap.
"Ini persis seperti gudeg Jogja yang kubayangkan. Dan aku pikir kamu tak mungkin mengatakan nasi goreng itu persis dengna yang kamu nikmati di rumah." Komentarnya setelah menyuap gudeg hangat yang dia pesan.
" Tentu jauh lebih enak nasi goreng kambing disini. Karena memang aku takj pernah membuatnya. " jawabku sambil tertawa pelan.
" Dan pantas jika ada artikel yang merekomendasikannya." Tambahku.
Lalu setelahnya kami berbincang-bincang. Saling melemparkan pertanyaan pribadi satu sama lain.
Makanan berat kami habis, lalu kami memesan es krim durian untuk menambah panjang obrolan kami.
Es krim durian yang bersanding dengan senyumannya sukses menutup bahagia malam ini. 


***

Kututup buku yang kini sudah terisi goresan coretan tginta hitam. Lantas aku disibukan hitung menghitung struk yang tadi kudapat. Satu porsi nasi goreng, satu porsi gudeg, dua botiol air mineral, dua gelas es krim durian juga secangkir kopi hitam. Kuhitungt total dan bersyukur aku masih memiliki sisa saldo di kartu yang kugunakan untuk pembayaran ini. Kupanadangi semua piring juga gelas kotor diatas meja. Ternyata aku rakus sekali jika sedang ingin mencari ide. SAku baru menyadarinya. Kombinasi patah hati dan sabtu malam sendirian diengah ramai.
Tak ada teman makan juga berbincang. Aku mengahbiskan semua makanan ditengah membuat cerita ini. Aku menikmati patah hatiku sendirian. tersenyum  bahagia karena perutku ternyata sangat kenyang.
Barangkali jiak besok lusa datang lagi kesini aku tidak memilih sabtu malam diaman iri akan bergelayut manja pada mereka yang datang berpasang-pasangan memesan makanan beragam.
Kecuali jika aku memang sedang ingin merencanankan  menjadi penderita obesitas.






Minggu, 04 September 2016

Yang Demikian Itu

Aku sedang terjatuh,
Eranganku tersamarkan gelegar dunia.
Lalu saat sunyi menepi,
Manusia-manusia menolehku.
Menyemangatiku, menyoraki aku.
Memberi dukungan.

Sayang sekali, aku butuh lebih dari sorak sorai.
Aku membutuhkan seseorang untuk menggenggam jari jemariku.
Membantuku berdiri kembali lantas berjalan bersisian.
Berlari berdampingan.
Sungguh, aku ingin yang demikian.

Tapi manusia-manusia sekelilingku tak ada yang demikian.
Bahkan untuk sekedar berdiri dibelakang dan mendorongku sekalipun.
Tak ada pula yang berdiri didepanku lantas menunjukan arah tujuan.
Tak ada.

Meski demikian tak kupungkiri satu hal.
Bahwa jauh disana ada seseorang yang senantiasa setia.
Mengirimi doa di lima pergantian waktu saban harinya.

Aku yang serakah ini tak kunjung merasa cukup dikirimi doa dalam hening.
Aku ingin tangan yang nyata-nyata menggenggam jemariku.
Menghangatkan sekaligus menenangkan.
Kapankah dia akan datang?
Seseorang yang demikian itu.

Jakarta, 06 Juni 2016