Minggu, 31 Januari 2016

Selamat Untuk Pernikahanmu Edya

Surat pertama,
Hari ke-1

Kepada Edya
Lagi. Sperti tahun yang lalu, surat pertamaku aku tujukan kepadamu teman.
Aku terlanjur membuat judul surat terakhir di tahun lalu. Aku pikir aku tidak harus menulis lagi karenamu. Sialnya, ada hal yang harus kusampaikan. Aku tak punya nyali mengatakannya secara langsung padamu. Sial bagi kamu karena harus menemukan namamu tercantum lagi di tempat ini. Dalam suratku. Semoga saja itu tidak mengganggumu.

Aku sebenarnya telah benar-benar berhenti menulis tentangmu dari tahun lalu. Sakit   membantuku melakukannya. Akhirnya aku punya hal lain yang jauh lebih penting untuk dipikirkan ketimbang urusan perasaan.

Desember lalu, perjalanan kehidupan barumu baru saja dimulai. Kau memilih lalu meminangnya lalu kemudian menjadikannya teman di pelaminan. Seseorang yang hingga saat ini aku belum tahu siapa. Selintas aku rasanya tak menemukan potret kebersamaanmu dengannya di dunia maya. Atau mungkin ada, hanya aku yang kurang jeli. Apapun itu, aku tahu kau berbahagia dengannya.

Tahun lalu, tak lama setelah surat-surat yang kulemparkan untukrmu di dunia maya seorang teman ragu-ragu menceritakan bahwa kau telah bertunangan. Dia khawatir aku menjadi patah hati hingga baru mengatakannya.
Bagiku itu menggelikan, bagaimana hatiku bisa patah jika memang dari awal di hanya separuh?

Dari awal kutulis surat di tahun lalu aku tak pernah berharap ada yang berubah dari perasaanmu. Aku hanya menyampaikan apa yang apa yang kusimpan sangat lama. Kenangan yang selalu menuntunku pada ilusi gila, pertemuan takdir. Aku terlepas dari semuanya setelah kulempar surat-surat itu. Aku menemui diriku kembali pada dunia nyata. Dan itu melegakan, sebuah rahasia sudah kulempar dan kini hatiku sudah lapang.

Selamat untuk pernikahanmu. Takdir ternyata mempertemukanmu dengan 'si jodoh'  jauh lebih cepat dari yang kupikirkan. Aku yakin kau akan selalu berbahagia dengannya. Karena kamu orang yang baik, aku meyakini seseorang yang menjadi pendampingmu pastilah orang yang sangat baik pula. Maaf aku tak bisa hadir dalam akad-mu. Bukan karena urusan perasaan yang belum usai aku tak datang. Murni karena keadaan yang ada. Kehidupan yang sedang kutempuh saat ini tak memberiku kebebasan juga kelonggaran berpergian.

Terimakasih, karena telah bersedia menjadi temanku meski aku telah dengan 'noraknya' melempar surat-surat untukmu di dunia maya.
Dan aku harap kamu tidak keberatan jika lagi-lagi sebuah surat kulempar ke dunia maya dan itu membawa namamu.

Jakarta, 31 Januari 2016
Dari seorang teman berseragam merah putih.

Jumat, 15 Januari 2016

Botol Air

Jl. Penganten Ali - Terminal kampung Rambutan.
Sekali waktu nasib mengharuskanku berpeluh di siang hari yang terik
Berjalan di atasa aspal hitam beralaskan sepatu lusuh
Benar-benar berjalan kaki.
Untuk kilometer yang tidak kuhitung.

Sepanjang jalan mataku meyakinkan kepada telapak kakiku bahwa kita sudah hampir sampai
Setelah tikungan, setelah pohon itu, setelah gedung itu.
Kita akan sampai, lebih kurang demikian yang mataku katakan.
Entah berapa kali hatiku juga berkata bahwa pasti bisa sampai di tujuan
Dengan selamat.
Seolah meyakinkan bahwa semuanya pasti baik-baik saja.
Seolah itu hal biasa yang biasa kulalui.
Seolah. Seolah. Dan seolah.

Kakiku tak berhenti berjalan meskipun tujuan entah kapan akan benar-benar terlihat

Beruntungnya,
Siang terik itu aku di selamatkan oleh sebuah benda yang lazim di beri nama 'botol'
Sebuah botol yang menjadi teman di hari sakit itu.
Benar-benar teman penyelamat.
Membuatku bisa terus berjalan meski ia hanya dihuni air mentah
Ya. Air mentah. Dari keran.
Yang sengaja kuambil dari mushola yang sengaja kucari dalam perjalanan.

'Air ini tak akan membuatku sakit perut'
'Tuhan akan menjagaku'
Begitu yakinku pada diriku sendiri.

Dan di sepanjang hari itu aku terus berdoa
'Tuhan jangan biarkan aku sakit hanya karena sebotol air mentah ini'

Hari itu, aku tak boleh lupa.
Sebotol air mentah yang benar-benar menjagaku.
Dari rasa lelah juga lapar.
Dan membuatku terjaga juga dekat dengan rasa sakit.

Jakarta, 21 November 2015

Sendirian

Aku benar-benar merasa sendirian saat ini. Bukan hanya merasa, tapi benar-benar sendirian. Tak ada tempat untuk mengadu juga berlindung.
Aku kesakitan seorang diri. Berpikir di setiap detiknya tak lantas membuatku menemukan setitik cahaya untuk gelap yang sedang memeluku saat sekarang ini.
Tuhan. Haruskah aku menulis surat dan mengirimnya lagi pada-Mu?
Aku benar-benar sedang putus harap lagi penuh keragu-raguan. Seolah tak punyai daya upaya untuk melawan dunia yang melulu berbicara tentang ' uang '.
Sedikit terlintas di benakku untuk meminta pertolongan teman-teman di kanan-kiri-depan-belakang ku. Tapi segera ku singkirkan pikiran itu. Malu rasanya jika harus terus menjadi benalu.
Ini tahun yang sungguh berat untukku. Benar-benar membuatku lelah dan menyerah. Aku lelah menghadapi tabiat diriku sendiri. Yang melulu melarikan diri dari keadaan yang kemungkin nantinya membuat hatiku terluka lagi. Sakit lagi.
Hari ini Tuhan, aku benar-benar sedang menunggu kapan dan dari mana terang itu akan datang.
Aku berjalan. Berkeliling.
"Tidak hanya aku yang sedang kesulitan dan kesakitan."
Itu hal yang kutemui di sepanjang perjalanan. Seolah Tuhan sedang memberi jawaban atas keluh kesahku.
Dan lagi, entah mengapa aku harus menangis tersedu terlebih dulu untuk bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa ' semuanya akan baik-baik saja'.
Seperti hari ini.

Tangerang, 24 November 2015

Malam Perayaan

Suara terompet yang saling bersahut-sahutan.
Kembang api yang menyala silih berganti.
Ini malam pergantian tahun.
Perayaan baru saja akan dimulai.
Ramai-ramai berbondong-bondong menuju keramaian.
Rusuh ingin sampai cepat di tujuan
Klakson berbunyi tak sabaran.

Aku benci sebuah perayaan juga segala bentuk keramaian
Berdesakan tak sabaran mengadu sikut satu sama lain.
Alhasil disinilah sekarang aku berada.
Di pojokan kamar berebahan.
Tak satu malam pergantian pun aku pernah lewati di luaran
Mengunjungi keramaian seperti yang lainnya

Tapi ini malam berbeda.
Bukan hanya sekedar tak suka.
Aku tak bisa keluar.
Benar-benar tak bisa keluar.
Terkunci di dalam sebuah rumah.
Untuk sebuah pekerjaan.
'Pembantu'
Ini pekerjaan benar-benar merenggut kebebasanku.
Sepenuhnya.
Tak ada perjalanan, sebulan penuh hanya berpeluh di dam rumah.
Lalu kenapa bertahan?
Mungkin itu yang akan orang lain pertanyakan.

Jika aku bisa pergi, maka aku akan pergi sesegera mungkin.
Hanya saja kata itu menjadi terlihat rumit sekarang ini.
Tidak bisa pergi secepatnya.
Tak bisa meski aku hampir gila.
Satu dua akan datang merongrong.
Memohon untuk uang.
Lantas bagaiamana aku bisa enyah jika uang terus saja jadi alasan?