Minggu, 21 Februari 2016

Dilema

ISurat Keduapuluhtiga
Hari Ke-23

Kepada
Biskuit Coklat

Dibanyak lelahku kau menemani dengan tulus. Memasrahkan dirimu habis.
Karenamu rasa lelah sedikit berkurang. Dan karenamu malam terasa jauh lebih sendu.
Kau menjadi candu di malam-malamku.
Hari ini, aku sedang dalam dilema. Harus memilih satu diantara dua. Menghadirkanmu di malam-malam berikutnya atau melemparkan selembar surat di dunia maya. Pilihan antara hasrat juga isi perut. Manakah yang lebih berat??
Jika aku memilihmu maka surat-suratku terhenti.
Jika dunia maya yang kupilih maka aku harus melewatkan malam-malamku dalam sepi yang panjang.

Lusa jika tak ada surat yang kulemparkan maka itu artinya aku lebih memilihmu. Biskuit cokelat

Jakarta, 22 Februari 2016
Dari penikmat baru

Sabtu, 20 Februari 2016

Aku Tetap Pada Keyakinan Yang Sama

Surat Keduapuluhdua
Hari Ke-22

Kepada
Gusti Alloh

Ya Rabbi,
Segala puji bagimu, Tuhan semesta alam.
Terimakasih untuk raga juga nyawa yang masih Kau percayakan padaku hingga detik ini. Terimakasih untuk jatung yang masih terus berdetak.
Terimakasih untuk paru yang masih bisa menghirup udara.
Terimakasih untuk sendi yang tetap berfungsi.
Terimakasih untuk nadi yang masih mengalirkan darah.
Terimakasih untuk semua anggota tubuh yang berfungsi dengan baik hingga hari ini.
Ampuni aku karena selalu lupa bahwa semuanya adalah nikmatMu. RezekiMu.
Ampuni aku yang senantiasa mengukur kasihMu hanya lewat uang.

Ya Rabbi,
Ampuni aku karena mengabaikan banyak perintahMu. Semoga  Kau masih berkenan memberiku usia untuk sebuah pertobatan.

Ya Rabbi,
Aku memohon padamu untuk membantuku menjaga keyakinan atas kuasaMu juga kekasihMu Muhammad S.A.W.
Jaga hatiku agar ia tetap mengimaniMu. Karena sungguh, Engkaulah yang menguasai hati ini.

Ya Rabbi,
Mohon bantu aku untuk bisa mengabaiakan khotbah-khotbah seorang 'nona' yang terus saja mencecarku dengan teorinya tentang Tuhan, agama juga Muhammad.
Beri aku keberanian untuk segera beranjak pergi dari sisi 'si nona' itu. Permudahkan jalannya.

Ya Rabbi,
Meski aku lalai dalam sembahyang wajib juga ibadah lainnya. Hatiku tetap punya keyakinan yang sama. Dua kalimat syahadat.
أشهد أن لا اله الا الله وأشهد ان
محمد رسول الله

"Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah."

Jakarta, 21 Februati 2016
Dari seorang hamba yang sedang lalai beribadah

Jumat, 19 Februari 2016

Jangan Terburu-buru

Surat Keduapuluhsatu
Hari Ke-21

Kepada Malam
Mengapa kau cepat sekali berlalu?
Tak bisakah kau bertahan sedikit lebih lama untukku?
Tubuhku terlalu lelah untuk menemui pagi dan sejumlah perintah.

Aku menyukaimu. Meski pandanganku yang terbatas makin terbatasi olehmu.
Meski kau pekat atau bergemuruh riuh oleh hujan serta petir sekalipun. Aku tetap lebih menyukaimu. Kau adalah penawar rasa lelah. Karenamu gelisah-gelisah di sepanjang siang menguap. Karenamu pagi terasa lebih syahdu. Karenamu pula senja menjadi kenangan.
Karenanya, bisakah kau disisiku lebih lama lagi?
Letihku belum usai dan sendiku terasa sangat ngilu. Lagi, pagi menyodorkan setampuk perintah. Jadi  kumohon janganlah terburu-buru beranjak pergi.

Jakarta, 20,Februari 2016
Dari seorang pesuruh yang letih

Kamis, 18 Februari 2016

Membelakangimu

Surat Keduapuluh
Hari Ke-20

Kepada
Langitku

Langitku.
Sore itu, saat aku bertemu denganmu aku langsung menyukaimu. Sangat. Yang kau tampakkan di hadapanku sungguh menakjubkan.Gumpalan awan-awan dengan ragam bentuk berbaris acak berwarna jingga.Matahari, aku tak tahu kau dimana. Mungkin sudah menghampiri laut. Kau yang berwarna biru entah jenis apa, terlihat sangat damai.

Sore itu langitku, aku baru saja kehilangan satu kesempatan berharga. Dan kau sempurna menjadi pengobat luka.
Hanya saja sayang. Karena aku harus berjalan menjauhimu juga membelakangimu.
Langitku. Situasi sore itu mengingatkanku pada seseorang. Lebih tepatnya perjalananku yang terpaksa harus berlawanan denganmu membuatku sedikit menyamakan sore itu dengan hidupku.

Tahukah kau? Langitku.
Aku sedang berjalan membelakangi kenangan. Hatiku terkadang rikuh ingin kembali kesana. Tapi kepalaku berkata itu adalah pilihan yang buruk. Tidak beranjak berarti kamu mati. Begitu katanya.
Aku tidak rindu. Tidak juga patah hati. Tapi ada rasa yang entah apa namanya. Aku belum menemukan jawaban.

Langitku. Sungguh aku tak beruntung sore itu. Hilang sudah senja mengagumkan dari pandangan mataku.
Mengapa aku mudah sekali kehilangan bahkan ketika aku belum sempat memilikinya?

Jakarta, 19 Februari 2016
Dari seorang yang kehilangan 'sempat'

Surat Pertama Kepada Kamu

Surat Kesembilanbelas
Hari Ke-19

Kepada
Kamu
(Seorang jodoh yang belum di pertemukan Tuhan)

Ini surat pertama untuk kamu. Aku sudah kehabisan orang yang bisa kukirimi surat. Itulah kenapa surat untukmu kutulis lebih cepat.

Kamu. Jodohku. Seorang pria yang aku belum tahu siapa. Aku ingin menulis beberapa surat untukmu selagi kita menunggu takdir mempertemukan. Kelak jika kita sudah menjadi satu aku akan tunjukan surat-surat ini padamu.
Lihatlah!! Betapa romantisnya aku bukan?

Kamu. Aku akan memanggilmu demikian untuk saat ini.
Seperti apakah rupamu? Watakmu?
Bagaimana wajahmu saat marah? Bersedih? Samakah?
Aku penasaran sekali.

Aku tak bisa mengatakan rindu padamu. Jadi aku hanya akan bercerita saja. Tentang aku.

Pertama.
Aku. Menyukai buku. Itu hal pertama yang ingin kuberitahukan padamu. Kelak saat kita bersama jangan bosan jika aku terus memintamu menemaniku mencari buku. Dan mohon bersabar menungguku memilih.

Surat-surat yang akan aku tuliskan untukmu hanyalah berupa cerita sederhana tentang aku. Semoga kamu tidak berkeberatan membacanya.

Jakarta, 18 Februari 2016
Dari seorang perempuan yang menunggu kamu

Selasa, 16 Februari 2016

Kepada Aku

Surat Kedelapanbelas
Hari Ke-18

Kepada
Aku

Selamat ulang tahun.
Terimakasih untuk hidup dengan cukup baik sejauh ini.
Terimakasih untuk bertahan dari begitu banyak rasa sakitmu.
Terimakasih untuk menyimpan dengan rapi cerita-cerita pilumu.
Terimakasih untuk menyembuhkan rasa sakitmu sendirian.
Terimakasih untuk tidak menyimpan dendam terlalu lama.
Terimakasih untuk selalu bangkit dari keterpurukanmu.
Terimakasih untuk selalu memotivasi dirimu sendiri.
Terimakasih untuk memberi maaf dibanyak kehilafan.
Terimakasih untuk tetap bekerja meski kau tak menyukai pekerjannmu.
Terimakasih untuk tetap berjuang agar tak menyusahkan sekelilingmu.
Terimakasih untuk tetap berpikir positif dibanyak keputusasaan.
Terimakasih untuk menunggu dibanyak perhentian.
Terimakasih untuk tetap membuat pilihan-pilihan.
Terimaksih untuk kamu. Aku. Diriku. Karena tetap berjalan meski harus tertatih, terseok-seok.

Kumohon, jangan terlalu cepat menyerah juga berputus asa.
Kumohon, menunggulah untuk hadiah yang belum sampai.
Kumohon, teruslah berjalan menuju tujuanmu.

Maaf. Karena aku tak banyak berterimakasih padamu.
Maaf. Karena aku tak henti-hentinya membuatmu lelah.

Aku mencintaimu. Diriku sendiri.
Selamat ulang tahun. Aku.

Jakarta, 17 Februari 2016
Dari aku yang acapkali membuatmu lelah. Diruku sendiri.

Aku Belum Berterimskasih

Surat Ketujuhbelas
Hari Ke-17

Kepada
Seseorang yang membantuku di malam gerimis

Aku menunggumu menagih ucapan terimakasih. Sungguh. Aku berhutang budi padamu. Hanya saja aku tak tahu siapa dan seperti apa kamu.

Malam itu hujan sedang turun. Tidak deras. Tapi cukup untuk membuatku kerepotan membuakakan pintu pagar. Aku baru saja terbangun dari tidur. Kesadaranku belum terkumpul seutuhnya. Tubuhku bisa saja bekerja dengan baika andai saja hujan tak turun malam itu. Sulit sekali. Memegang payung lantas menutup pagar yang berlipat-lipat.
Kesadaranku yang hanya separuh tentulah membuatku tak tahu diri. Sudah kau bantu tapi aku tak cepat  berterimakasih.

Maaf. Karena tidak juga belum sempat mengucapkan terimakasih. Telah menolongku dalam guyuran hujan di tengah malam.

Aku menunggumu hingga hari ini.
Mengatakan 'aku yang pernah membantumu dulu'.
Agar agu bisa sedikit berlega hati, menebus rasa salah juga membalas budi.

Jakarta, 16 Februari 2016
Dari seorang pesuruh berpakaian lusuh.

Minggu, 14 Februari 2016

Apa Bintangmu?

Surat Keenambelas
Hari Ke-16

Kepada
Tukang 'ketik' bernama Budi

Salam kenal. Namaku Nuraeni. Konon katanya nama itu bermakna 'cahaya mata'. Hanya saja jadi tidak sinkron dengan kenyataan yang ada. Mataku tak pernah berhasil menarik perhatian siapapun. Termasuk kau yang hingga hari ini tak pernah berbasa-basi melempar pertanyaan remeh temeh padaku. Mungkin karena ejaan nama yang keliru. Atau aku sendiri yang memang salah paham dengan maknanya.
Atau mungkin kenyataan bahwa wajahku yang bertampang minimalis (jelek) yang tak mampu menarik perhatian siapapun.

Surat ini. Sepertinya tidak akan pernah sampai di tanganmu. Lihat. Betapa pesimisnya aku bukan? (Siapa pula aku ini.)
Lantas untuk apa ditulis jika tak pernah sampai?

Permasalahannya adalah karena ada pertanyaan dalam benakku sendiri yanh terlalu sering datang dan merenggut konsentrasi alam sadarku. Pertanyaan sepele mengenai kamu. Seorang pria dengan nama klasik. 'BUDI'. Walaupun sejujurnya aku tidak yakin apakah itu benar namamu atau bukan. Kita tak pernah berkenalan secara resmi. Aku hanya mendengarnya dari sekelabat suara-suara yang memanggilmu. Mereka yang mengenalmu.

Mari abaikan soal nama. Aku penasaran dengan satu hal tentang kamu. Hanya saja aku tak berani menanyakannya padamu hingga hari ini meski aku bertemu denganmu setiap hari senin-sabtu belakangan ini. Satu pertanyaan saja yang bisa membuatku menemukan anak pinak pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Bukan tentang asalmu. Bukan tentang status pernikahanmu. Bukan tentang teman wanitamu. Bukan tentang tinggi badan atau berat badanmu. Bukan ukuran sepatu atau pakaianmu. Bukan pula no. telepon atau akun jejaring sosial yang kau pakai.

Hanya satu pertanyaan yang akan membawaku pada banyak kesimpulan.

"Apa Bintangmu??"

Jakarta, 15 Februari 2016
Dari seorang pesuruh bertampang lusuh

Ps: Sejujurnya aku berharap suatu saat surat ini akan sampai pada si penerima

Sabtu, 13 Februari 2016

Bahagiaku Sederhana

Surat Kelimabelas
Hari Ke-15

Kepada
Negeriku. Indonesia

Negeriku. Indonesia.
Aku bahagia bersamamu. Dengan semua baik juga burukmu. Tak peduli lainnya berucap kau menyebalkan. Kau kotor. Kau dikorup. Tak peduli celaan datang dan pergi. Aku tetap merasa bahagia karenamu. Jadi bagian di kehidupanku.

Negeriku. Indonesia
Kau rumahku. Tak ada tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali selainmu. Mungkin bagi beberapa orang kau selayaknya rumah yang harusnya ditinggal pergi. Tapi tidak bagiku. Aku tak pernah sekalipun beranjak darimu. Bahkan mengelilingimu saja aku belum lakukan. Tapi tetap itu tak mengurangi rasa bahagiaku.
Aku merasa bahagia karenamu.

Negeriku. Indonesia
Aku tidak ingin berucap latah 'aku mencintaimu'. Aku hanya bisa berucap 'aku bahagia karenamu jadi bagian hidupku'.
Kata cinta terlalu berat untuk kukatakan padamu. Aku belum bisa menjadi apapun untukmu. Aku hanya bisa memanfaatkanmu saja. Tanahmu. Airmu. Hutanmu. Sungaimu. Aku hanya mengambil keuntungan darinya.

Negeriku. Indonesia.
Aku bahagia menjadi bagianmu. Aku menyukaimu. Meski aku tak secara utuh mengenalmu. Sejarah-mu. Pulau-mu. Laut-mu. Gunung-mu. Lembah-mu. Sungai-mu. Teluk-mu. Pantai-mu.
Terlalu banyak yang belum kukenali. Sejauh ini aku hanya mengenali sepetak sawah, sebidang kebun, sungai kecil, gubuk reyot dan orang-orang di dusun kecil. Tapi aku bahagia. Sama bahagianya dengan mereka yang berjalan mengelilingimu.

Negeriku. Indonesia.
Aku bahagia menjadi bagiamu. Rasa yang sederhana yang hadir saat kumakan ubi yang kugali dari tanahmu juga air yang kuteguk  dari sungaimu. Lewat itulah bahagiaku datang. Sesederhana itu alasanku.

Jakarta, 14 Februari 2016
Dari seorang warga negara yang hanya tahu cara jadi benalu.

Jumat, 12 Februari 2016

Potretmu Yang Hilang

Surat Keempatbelas
Hari Ke-14

Kepada 'D'

Selamat bertambah usia untuk kamu yang berulang tahun di hari kemarin.
Aku tidak ingin menulis surat untukmu di kemarin hari seperti di tahun yang lalu. Surat ini pun aku tujukan padamu hanya dengan menulis dengan inisialmu saja.
Sebabnya sederhana. Aku tak ingin lagi bertingkah seperti di tahun yang lalu. Menulis surat lantas mengirimkannya padamu. Setelah itu menunggu balasan juga basa-basi. Sekedar ucapan terimakasih untuk surat yang kukirimkan.
Tapi apa yang terjadi?
Harapan hanyalah tinggal harapan. Membacanya saja mungkin tidak kau lakukan. Yang terjadi adalah tak ada balasan apapun, meski itu hanya sekedar ucapan basa-basi.
Mungkin salahku karena isi surat hanya berupa kalimat-kalimat doa yang terbiasa kau lihat di linimasa-mu.
Mungkin jika aku benar-benar menuliskan perihal cinta kau akan tergerak untuk membalas atau mungkin akan tetap mengabaikannya.
Entahlah. Aku tak ingin berjudi dengan harapan lagi.

'D'
Beberapa tahun yang lalu, dengan sengaja aku mencarimu di jejaring sosial. Berharap ketika kita sudah terhubung di dunia maya kita bisa bercakap akrab seperti dulu saat kita masih sering bertemu.
Sayang. Sayang. Sayang. Aku berharap terlalu banyak. Entah karena memang kau tak lagi mengenaliku atau kau terlalu banyak teman di jejaring sosial itu yang membuatmu mengabaikan kehadiranku. Aku lelah menduga-duga.

'D'
Dulu aku menyimpan potretmu dalam sebuah memori. Dia tak sengaja kutemukan saat aku menerima sebuah telepon genggam dari kakakku. Ketika itu entah mengapa ada debar-debar aneh juga rasa bahagia. Hingga sialnya aku terkadang berharap kita berpapasan di suatu hari tanpa sengaja lalu kemudian saling melempar pertanyaan saling mengakrabi.
Harapan. Aku sedang membencinya. Sebuah kata yang seringnya membuatku patah hati. 

'D'
Apakah harus aku yang memulainya?
Menyapamu di linimasa lantas 'sok akrab?
Kurasa aku tidak bisa melakukannya. Harga diriku terlalu kugantung tinggi-tinggi.  Aku hanya bisa menunggu dan terus menunggu. Dengan sedikit harapan. Sedikit saja, agar tak begitu sakit saat nanti kenyataan terbalik yang mengahmpiri.

'D'
Kamu adalah pria dengan bintang Aquarius. Yang entah mengapa menarik perhatianku. Aku terjebak dalam lingkaran orang-orang dengan bintang itu. Merasa ada kesamaan tapi sialnya semuanya tak terjangkau di dunia nyata. Hanya bisa diam-diam kupandangi di dunia maya.
Tak terkecuali kamu.

Selamat Ulang Tahun.
Semoga selalu bisa mengendalikan rasa bahagiamu.

'D'
Sayangnya potret kamu telah hilang bersamaan dengan raibnya memori itu. Entah dimana dan kapan tepatnya.
Apakah itu pertanda jika aku pun harus menghilangkanmu dari ingatan juga kenanganku?

Jakarta, 13 Februari 2016
Dari seseorang yang dulunya teman

Aku Iri Pada Keleluasaanmu

Surat Ketigabelas
Hari Ke-13

Kepada
Om Rio D'walker

Hujan baru saja sedikit reda saat kutulis surat sore ini. Kuharap kau tidak berkeberatan menerimanya. Tapi om, jangan khawatir. Aku tidak sedang berusaha menyampaikan cinta lewat tulisan ini. Meski memang project ini berjudul #30HariMenulisSuratCinta.

Om. Maaf karena aku lebih suka memanggilmu demikian. Jangan salahkan aku. Marahi dia yang memulainya.

Surat ini om, ditulis dalam sebuah perjalanan. Hanya saja aku kali ini tidak menyukainya.  Ya, om. Perjalanan hari ini aku tak suka. Tapi aku tidak sedang ingin mengeluhkan itu.

Biar kutulis singkat saja, waktu sudah hampir habis. Hanya ada sedikit hal yang harus kusampaikan.
'Aku iri dengan keleluasaanmu mendaki puncak-puncak.'
Sementara aku berangan, kau terus berjalan. Berkeliling di banyak jalan setapak. Menghirup udara pagi ditemani jingga fajar. Membaui dedaunan basah, rumput hijau terinjak.
Aku iri dengan semua kesempatan yang datang padamu.

Jika suatu hari aku bertemu hari bebas, maukah kau mengajaku mendaki sampai di puncak gunung?

Jakarta, 12 Februari 2016
Dari seorang kenalan yang iri hari

Rabu, 10 Februari 2016

Untuk Sebaris Pujian

Surat Keduabelas
Hari Ke-12

Kepada
Ananda Putri Yuliani
(@anpuyuuu)

Hai...Hai....Hai...
Dek (biar kusebut demikian sebab kau memanggilku 'teteh')...
Surat ini, sudah kurencankan di tulis untukmu sebelum project #30HariMenulisSuratCinta dimulai.
Lebih tepatnya, surat ini di rencanakan dibuat untukmu sehari setelah kubaca pesan yang kau tulis untukku.
Kala itu dek, untuk pertama kalinya aku merasa begitu sangat bahagia karena telah menulis. Meski itu bukan tulisan yang berbobot juga tak puitis. Hanya mungkin secara kebetulan kau merasa terwakili oleh isinya. Tapi aku bahagia sekali karena kau orang pertama diluar lingkaran hidupku yang menyukai tulisan itu. Aku, entah mengapa merasa pesan itu di uat dengan sangat tulus.
Semoga surat ini pun demikian. Nampak tulus saat kau membacanya.

Terimakasih banyak dek. Karenamu api semangat yang semula kecil mulai menyala lebih besar.
Karenamu aku percaya bahwa 'berhenti menulis karena keterbatasan itu adalah kebodohan'.
Karenamu aku tak bisa berhenti menulis meski itu hanya tulisan buruk, sampah atau coretan tak jelas.
Karenamu aku tidak akan berhenti menulis tak peduli apakah orang lain akan membacanya atau tidak. Menyukainya atau mengabaikannya.
Karenamu aku ingin tetap berjalan menuju impian terbesarku. Menulis sebuah buku.
Karenamu aku yakin untuk tidak berhenti. Tetap berjalan meski itu hanya berupa langkah pendek. Meski harus tertatih-tatih.
Terimakasih banyak. Terimakasih banyak. Terimakasih banyak.
(rasa-rasanya sebuah surat tak cukup mewakili ucapan terimaksihku untukmu dek,)

Omong-omong tulisan di blog punyamu jauh lebih bagus. Pemilihan kata juga kalimatmu menurutku puitis. Kau sepertinya mudah membuat kata-kata yang melanklonis, klasik.
Dengan kemampuanmu aku yakin kau bisa lebih cepat punya karya.
Menulislah untuk sebuah tujuan. Tidak hanya untuk menyimpan luka saja.
Menulislah untuk dapat membukukannya, jangan hanya menjadikannya lembaran-lembaran tak berguna sisa luka masa lalu.
Maka menulislah. Kutunggu kabar dari karya pertamamu.

Jakarta, 11 Februari 2016
Dari seseorang yang berterimakasih atas sebaris pujian

Terimakasih Kak Pia

Hari Kesebelas
Surat Ke-11

Kepada
Kak Pia

Apa kabarnya kak? Bagaimana dengan berat badannya? Sudah puaskah dengan kerja kerasnya?
Maaf jika aku tak sering berbasa-basi mengirim pesan bertanya menyoal kabar. Lalu hanya menghubungimu jika aku butuh pertolongan. Manusia yang buruk bukan??

Surat ini, semoga tidak terlihat 'norak' di hadapanmu.
Apalah daya, aku tak cukup tahu bagaimana berterimakasih dengan baik. Seringnya aku datang dan pergi sesuka hatiku.

Terimakasih, untuk selalau mengulurkan tangan saat aku butuh bantuan.
Terimakasih, untuk membukakan pintu di setiap saat aku mengetuk.
Terimakasih, karena rajin mengingatkanku untuk sembahyang saat kita masih tinggal bersama.
Terimakasih, untuk tumpukan dvd drama korea yang selalu kunikmati saat berkunjung.
Terimakasih, karena telah menjadi kakak untukku.
Maaf karena aku tidak bisa menjadi adik juga teman yang baik.
Semoga Tuhan bersegera mempertemukan kak Pia dengan jodoh. Yang seiman, pekerja keras juga bertanggung jawab.
Aku yakin, kakak akan mendapatkan yang terbaik. Karena kakak orang baik.

Jakarta, 10 Februari 2016
Dari seseorang yang hanya tahu mengganggu,

Selasa, 09 Februari 2016

Sibukanlah Dirimu

Surat Kesepuluh
Hari Ke-10

Kepada
Etik

Kita adalah teman seperjalanan. Meski tak selalu berjalan bersisian. Meski tak selalu melangkah beriringan. Hanya sesekali. Terhitung jari. Tapi itu tak menghalangiku untuk memasukan namamu dalam lingkaran orang-orang yang berarti. Di kehidupanku.

'Kapan kita bisa jalan bareng terus curhat-curhatan lagi?'
Itu pertanyaan yang pernah kau lemparkan padaku lewat sebuah pesan singkat.
Sejujurnya aku pun rindu perjalanan. Rindu melangkah. Tapi konon katanya hidup adalah tentang bersabar. Jadi apa yang bisa kulakukan?
Biarlah nanti kesempatan itu datang menghampiri. Kita akan berjalan bersama. Sebuah perjalanan berharga. Tanpa rencana namun tak juga tergesa-gesa. Kita nikmati bersama lelah yang mendera hingga senja menjingga.

Temanku, sedikit aku ingin melempar sebuah petuah padamu.
'Bangunlah!! Berbaring tak akan membuatmu bahagia!!'
Ya. Seperti itulah. Jangan biarkan dirimu menunggu kepastian dari seseorang dalam diam. Sibukkan dirimu. Bekerjalah. Jika kita sibuk, pikiran juga prasangka buruk akan tersamarkan dengan baik. Kita tidak akan pernah merasa lelah saat menunggu seseorang jika kita sangat sibuk.

Temanku. Berhentilah berputus asa pada sikap manusia yang seringnya tak seiring sejalan dengan harpan kita. Manusia itu adalah mahluk yanh di ciptakan dengan sifat-sifat yang sangat kompleks. Berubah-ubah. Dengan banyak faktor penyebabnya. Maka jangan menyerah untuk bisa memahaminya.

Sekian saja teman, semoga surat ini terlihat manis di hadapanmu.
Terimakasih telah selalu bersedia menyediakan tempat beristirahat untukku.
Mari berkawan selamanya,

Jakarta, 09 Februari 2016
Dari seorang teman seperjalanan

Senin, 08 Februari 2016

Kapan Menikah?

Surat Kesembilan
Hari Ke-9

Kepada
Rika Meina

'Kapan Menikah?'
Teman, aku tidak sedang ingin menggodamu. Karena sungguh, aku sendiri pun muak dengan pertanyaan tersebut.
Mengapa orang rusuh sekali bertanya soal kapan menikah?
Padahal sudah sangat jelas bukan, dalam kepercayaan kita jodoh itu sudah Alloh gariskan jauh-jauh hari sebelum kita mengenal cinta dan juga adam.
Jadi mengapa orang mempertanyakannya jika memang sudah jelas tersurat dalam buku takdir kita?
Mungkin kita semua latah. Atau kita sudah kehabisan 'pertanyaan basa-basi'.

Teman, ini surat kedua yang kutulis padamu. Terkesan seperti basa-basi bukan?
Terlihat seperti 'sampah'. Karena aku tak punya pujaan yang dapat kukirimi surat. Mungkin begitu, jika prasangka jahat yang mendatangimu saat membaca surat ini.
Tapi aku mengharapkan sebaliknya.
Sungguh, aku tulus menulis ini. Karena kau orang yang berarti yang ada di sekelilingku.
Aku menulis surat tersebab aku tak dapat berucap manis di depanmu.
Kupikir akan jauh menakutkan jika memang itu di katakan langsung. Tak umum. Tak lazim

Teman, terimakasih untuk selalu mengulurkan tanganmu saat aku meminta bantuan. Kau tanpa ragu membantuku. Padahal aku ini bukanlah teman yangg ideal bagi siapapun. Hanya datang saat kesulitan lalu abai saat bahagia.
Terimakasih untuk setia menyediakan telinga saat aku membutuhkan seseorang untuk mendengarkan keluhanku.
Terimakasih untuk mengatakan 'kamu pasti bisa' di saat aku sendiripun meragukan kemampuanku.
Terimakasih untuk menerimaku dan setia menjadi temanku meski 'aku menyebalkan'.

Teman, mari kita bersantai saja. Abaikan pertanyaan siapapun menyoal 'kapan menikah. Toh, Tere Liye pun berujar 'menikah itu bukan perkara lomba lari, siapa cepat dia yang menjadi pemenang'.
Santai saja, dan biarkan Alloh memberi kejutan yang manis di akhir kisah penantian 'sang adam'.

Jakarta, 08 Februari 2016
Dari seorang teman yang bertingkah seperti 'bukan teman'

Minggu, 07 Februari 2016

Mungkinkah?

Surat Kedelapan
Hari Ke-8

Kepada
@Deny Sumargo

Selamat sore kak. Senja ini, langit kota manakah yang menaungimu?
Sore ini, aku menuliskan sebuah surat cinta untukmu.
Maka izinkan aku sedikit mengganggumu. Semoga kau punya kesempatan untuk membaca ini di waktu perjalananmu yang padat.

Mulanya aku menyukaimu...
Entah angin apa yang membuatku mencari namamu dua tahun yang lalu. Mesin pencarian membawaku pada sebuah blog bertuliskan namamu. Aku baca dengan seksama tulisan-tulisanmu. Dari sanalah timbul rasa kagum yang kemudian menghadirkan rasa suka. Aku mengagumimu tersebab sejarah yang telah kau ukir atas namamu. Perjalanan hidup yang kau perjuangkan, membuatku terenyuh lantas berkata pada diriku sendiri 'lihatlah! Perjuangan tidak pernah mudah'.
Itulah mulanya aku menyukaimu, yang kemudian membawaku pada sebuah perjalanan membaca kisah lengkapmu lewat sebuah buku berjudulkan atas namamu. Beruntung saat melakukan pemesanan, buku itu masih tersedia.
Seperti itulah mulanya kak,

Belakangan aku melihatmu di hari sabtu-minggu dalam sebuah program televisi. Dan aku, makin jatuh suka padamu. Aku suka pada setiap caramu menikmati alam juga perjalanannya.

Aku selalu berangan, suatu hari bisa berjumpa denganmu. Menjabat tanganmu juga memeluk tubuh atletismu.

Jika ada pertanyaan 'kencan seperti apakah yang ingin aku lakuakan denganmu?'
Sederhana saja. Aku ingin pergi ke puncak Rinjani bersamamu. Lantas menikmati matahari terbit ditemani secangkir kopi. Menghirup aroma kopi yang bercampur bau pucuk daun-daun basah. Mengobrol banyak topik di sela-sela menyeruput kopi panas ditengah dinginnya pagi. Yang tak boleh terlewatkan, bermalam bersama. Membangun tenda di tepian danau segara anakan. Menikmati langit dengan bintang-bintang sambil berbaring di atas rumput tepian segara anakan.
Mungkinkah mimpi itu bisa terwujud??

Jakarta, 07 Februari 2016
Dari seorang pembaca perjalanan hidupmu.

Jumat, 05 Februari 2016

Kepada Bungsu

Surat Ketujuh
Hari Ke-7

Kepada Adik Bungsu
Aulia Izzatunnisa

Adikku sayang,
Usiamu baru akan genap di angka 4 bulan Mei mendatang.
Surat ini,entah kapan bisa kau baca juga kau mengerti.
Tapi itu tak menghalangi kakak untuk menuliskannya.
Semua anggota keluarga mendapat surat dari kakakmu ini, satu orang satu surat. Tak terkecuali kau.

Adikku sayang,
Namamu adalah pemberian dari kakakmu ini. Dengan harapan kelak kau akan tumbuh menjadi 'anak perempuan yang mulia jugaa baik hatinya'. Seperti arti dari nama itu.
Maaf. Karena di awal-awal kehadiranmu kakakmu ini tak menyukaimu.
Maaf. Karena kakakmu selalu merasa terbebani karena kehadiranmu.
Maaf. Karena di kesempatan yang hanya sesaat kakakmu ini jarang mengajakmu bermain bersama.
Maaf. Karena kakakmu ini belum bisa membahagiakanmu.

Adikku sayang,
Dunia yang akan kau temui nanti saat kau dewasa pastilah lebih sulit dari yanng kakakmu ini rasa sekarang. Tapi jangan khawatir, karena pada dasarnya tak ada kehidupan yang mudah, sayang.

Adikku sayang,
Jadilah anak yang penurut juga kuat. Dengar dengan cermat saat ibu juga bapak menasihati.
Bacalah banyak buku saat kau sudah bisa membaca. Pahami dengan baik.
Pelajarilah ilmu-ilmu. Jangan memilih-milih.
Pergilah ke surau dan belajar mengaji serta biasakanlah mengamalkan ilmunya.
Makanlah dengan baik, jangan menjadi pemilih.
Rajin-rajinlah membantu pekerjaan ibu di rumah
Bermainlah dan miliki banyak teman.

Adikku sayang,
Maaf karena kakakmu ini hanya bisa menuliskan nasihat-nasihat dalam sebuah surat.
Kakak belum bisa menyampaikan semuanya padamu secara langsung.
Bukan karena usiamu yang masih dini. Penyebabnya amtak lain karena kakakmu ini belum bisa menjadi seperti 'nasihat-nasihat' itu.
Bagaimanalah seseorang seperti kakak ini memberi nasihat padahal sendirinya belum cukup baik?

Hiduplah dengan baik, temukan apa yang ingin ka gapai. Pahamai batasan-batasan dan jangan melewatinya.
Yang terpenting dari semuanya berbahagialah. Bersyukurlah. Karena rasa syukur melapangkan hati. Dan hati yang lapang adalah sumber bahagiamu.

Jakarta, 06 Februari 2016
Kakak perempuan pertama

Kamis, 04 Februari 2016

Nasihat-nasihat

Surat Keenam
Hari Ke-6

Kepada Adik Laki-laki
Fajri Septia Ramadani

Adikku,
Aku tak pernah yakin bagaiamana surat ini akan sampai di tanganmu. Tapi kakakmu ini tetap harus menuliskannya. Untukmu. Semoga ia tak terlambat datang padamu.
Kakakmu akan menuliskannya dalam bahasa yang sederhana, barangkali surat ini akan sampai dalam waktu dekat

Adikku,
Maaf. Karena terlalu seringnya kakakmu ini bersikap tak peduli padamu.
Mengabaikan permintaan juga keberadaanmu. Marah karena alasan sepele.
Maaf. Karena tak membimbingmu belajar.
Maaf. Karena tak pernah menasihatimu dengan cara yang baik.
Maaf. Karena tak bisa membelikanmu bermacam-macam mainan.
Maaf. Karena lupa membelikanmu pakaian-pakaian baru.
Maaf. Karena belum bisa menjadi kakak yang sempurna untukmu

Adikku,
Kau adalah anak laki-laki. Maka bersikaplah seperti anak laki-laki.
Jangan terlalu sering menangis, sekali-kali boleh saja.
Menjadi baik boleh saja, hanya berhati-hatilah. Jangan sampai kau hanya dijadikan pesuruh oleh temanmu hanya karena kau terlalu penurut.
Dengarkanlah ketika ibu menasihatimu, berhentilah membantahnya. Kau tak peenah tahu betapa sangat lelahnya beliau.
Berbagilah apapun dengan adikmu, jangan terlalu sering merasa iri padanya.
Belajarlah dengan baik. Rajin-rajinlah membaca. Berhentilah bermalas-malasan.
Biasakanlah untuk bangun pagi dan mandi sebelum berangkat sekolah.
Sarapanlah sebelum berangkat sekolah, jangan tunggu sampai ibu menyuapimu. Kau sudah besar. Dan kau anak laki-laki.
Makanlah apapun yang ibu masak, jangan menjadi pemilih.
Batasilah jam menonton malam hari, tidurlah dengan cukup.
Bermainlah dengab temanmu, hanya saja pulanglah setelah kau mendengar adzan Asar berkumandang.
Rajinlah pergi ke surau, belajar mengaji dengan baik karena kau anak laki-laki yang kelak akan menjadi imam.
Jadilah lebih kuat. Jadilah anak laki-laki yang baik.
Berbahagialah meski kekurangan mengelilingumu.

Adikku,
Kakakmu ini belumlah cukup baik untukmu saat ini. Tapi semoga kelak akan bisa menjadi yang terbaik.

Jakarta, 05 Februari 2016
Kakak perempuan pertama.

Berbahagialah Sayang

Surat Kelima
Hari Ke-5

Kepada Adikku.
Iis Siti Aisyah

Sayang..
Kakakmu ingin membuka surat ini dengan permintaan maaf.
Maaf. Karena tidak berada disisimu saat kau melewati banyak masa sulit.
Maaf. Karena seringnya kakakmu ini mengabaikan keberadaanmu.
Maaf. Karena kakakmu ini tak bisa menjagamu dengan baik.
Maaf. Karena kakakmu ini tak cukup memberimu kasih.
Maaf. Karena kakakmu ini tak membagi cukup ilmu padamu.
Maaf. Karena kakakmu ini tak selalu menyediakan telinga saat kau butuh teman bercerita.
Maaf. Karena kakakmu ini tak pernah memelukmu saat kau sedang berurai air mata. Tersayat-sayat di hati.
Maaf. Karena kakakmu ini tak membimbingmu di kehidupan yang teramat keras ini.
Maaf. Karena kakakmu ini tak pernah memelukmu.
Maaf. Karena kakakmu ini tak pernah berkata 'aku menyayangimu'.
Maaf. Karena kakakmu ini tak cukup baik hingga pantas kau panggil 'Kakak'.
Maaf. Karena semua keegoisan kakakmu ini kau jadi merasa sepi sendiri. Juga sakit sendiri.
Maaf. Maaf. Maaf.
Maaf karena tak pernah mengatakannya padamu. Semua permintaan maaf yang tertahan di tenggorokan ini enggan beranjak dari sana.
Maaf. Karena harus meminta maaf lewat surat.

Sayang...
Hiduplah dengan baik. Kehidupan ini sungguh sulit, tapi terimalah. Lalu berjuanglah. Tentukan kemana kau ingin menuju.
Perhatikan semua batasan-batasan. Jangan sampai kau melewatinya agar tidak celaka nantinya.
Hiduplah dengan bahagia. Meski yang kau hadapi di setiap detiknya adalah rasa lelah juga penat.

Sayang...
Terakhir, jangan seperti kakakmu yang egois ini.
Jadilah anak yang baik. Kakak yang penuh kasih
Juga adik yang bisa diandalkan.
Kakakmu ini, menyayangimu. Meski tak pernah sekalipun mengucapkannya di depanmu.

Berbahagialah...
Suatu hari semoga kakakmu ini bisa menjadi sesempurnanya kakak untukmu.

Jakarta, 04 Februari 2016
Dari seorang kakak yang terlalu egois.

Rabu, 03 Februari 2016

Maaf Terlambat Berterimakasih

Surat Keempat
Hari Ke-4

Kepada
Kakaku

Kakaku,
Aku berharap kau selalu dalam keadaan baik-baik saja. Meskipun keadaan yang sebenarnya buruk sekalipun katakanlah bahwa kau baik-baik saja (bukankah seperti itu kita?).

Kakaku,
Ada banyak lembaran kertas yang kutulis atas namamu. Dan semuanya tak lebih dari ungkapan kekecewaan, amarah juga kebencian.
Tapi kali ini, aku sedang tidak ingin membawa perasaan itu semua. Ini adalah bulan cinta. Dan aku bertugas menulis surat cinta. Selain cinta, sedang tak kuijinkan menyentuh kepalaku.

Kakakku,
Terimakasih untuk banyak hal baik yang kau tularkan padaku. Cinta, kasih, kesukaan, nilai-nilai. Aku belajar mencintai buku darimu. Aku belajar mencintai lagu darimu. Aku belajar menjadi seorang kakak darimu pula.
Awal mula aku menyukai buku bacaan adalah karenamu. Kau yang rajin meminjam buku di perpustakaan menularkannya padaku.
Aku masih membaca hingga saat ini. Bagaimana denganmu? (akh, kau pasti sudah tak punya lagi waktu untuk membaca karena letih bekerja).

Kakaku,
Terimakasih karena sudah mengajaku pergi ke surau setiap malamnya, lantas berbagi ilmu denganku. Mungkin dalam banyak kesempatan aku menjadi lebih unggul darimu, tapi aku tetaplah seorang adik dan kau kakak.
Kau dengan senang hati mengantar aku pulang sampai depan pintu rumah saat aku tak punya teman pulang dari surau dan kau hendak menginap di pondok.
Terimakasih karena menjagaku dengan baik.

Kakaku,
Terimakasih karena telah bantak datang di setiap aku berkata 'tolong'.

Kakaku,
Maaf. Karena seringnya aku lupa akan hal-hal baik yang telah kau berikan padaku .
Maaf. Karena seringnya aku menyalahkanmu atas banyak rasa sakitku.
Maaf. Karena seringnya aku menggerutu karena harus menggantikan posisimu menjadi
orang yang pertama dimintai tolong oleh bapak akhir-akhir ini.
Maaf. Karena seringnya aku mengabaikanmu juga keluarga barumu.
Maaf. Karena aku begitu acuh padamu dan keluarga barumu.
Maaf. Karena aku tidak pernah menjadi adik yang baik.
Sungguh aku minta maaf untuk banyak kealfaan yang kulakukan atas nama keegoisan.

Kakaku,
Maaf.Maaf. Maaf.
Untuk banyak kesalahan yang tak terungkapkan entah itu lewat ucap atau tulisan.

Sungguh, acapkali aku lupa. Kau yang menjadikan aku pribadi yang sekuat sekarang ini.
Maaf. Karena terlambat berterimakasih.

Jakarta, 03 Februari 2016
Adikmu yang dulu berbagi sekeping uang logam bergambar bunga melati.

Selasa, 02 Februari 2016

Bisakah Bertahan Sedikit Lagi?

Surat Ketiga
Hari Ke-3

Kepada,
Bapaku

Bapaku,
Aku tahu kau sudah terlalu bosan bekerja keras. Dari masa yang lalu, kesusahan tak pernah berkeinginan enyah dari sampingmu. Kau bekerja sangat keras dari usiamu yang masih belia. Menjadi gembala dan entah kuli apa lagi. Semuanya kau lakukan untuk bertahan hidup. Aku tahu itu. Tapi maaf karena aku sering kali lupa pada hal itu.

Bapaku,
Terimakasih karena sudah berjuang begitu keras, bahkan hingga hari ini. Kau dari jauh-jauh hari sudah memikirkan bagaiamana meninggalkan kami anak-anakmu tetap tercukupi untuk urusan isi perut.
Terimakasih untuk tetap bertahan meski kesusahan selalu saja datang dan kau tidak menyerah. Tidak berhenti. Terimakasih untuk tidak berhenti berjalan.

Bapaku,
Terimakasih untuk tetap bertahan meski harus berjuang melawan begitu banyak rasa sakit.
Ini adalah tulisan pertamaku tentangmu yang isinya tidak berupa kekecewaan. Maaf karena aku terlambat menyadari bahwa kau sudah sangat keras berusaha bekerja untuk keluarga ini.

Bapaku,
Maaf aku belum bisa menjadi anak yang baik. Yang mengambil alih beban di pikulan pundakmu. Malah terkadang aku mengabaiakan semuanya. Berpura-pura tak melihat kesusahanmu yang tak berkesudahan.

Bapaku,
Maaf. Karena seringnya aku menyalahkanmu untuk banyak kegagalan-kegagalanku. Seringnya aku menjadikan kau kambing hitam atas ketidakberhasilanku mewujudkan harapan-harapanku. Entah mengapa aku menjadi begitu sangat picik saat gagal.

Bapaku,
Maaf karena aku pernah begitu sangat membencimu. Aku menuliskan banyak kesedihan atas namamu di lembaran-lembaran kertas. Maaf karena aku seringkali lupa bahwa kau juga manusia biasa yang memiliki emosi yang acapkali berubah-ubah.
Ada banyak tulisan yang kubuat atas namamu, dan dari kesemuanya adalah bagian dari kekecewaanku terhadap sikapmu. Maaf.

Bapaku,
Kumohon, jangan berhenti sekarang. Aku belum sanggup untuk mengambil alih beban-beban yang kau pikul. Beri aku waktu sampai aku benar-benar kuat.
Kumohon, bekerja keraslah sedikit lebih lama lagi. Akupun sedang berusaha menguatkan pundakku hingga hari ini.

Jakarta, 02 Februari 2016
Dari anak keduamu,

Senin, 01 Februari 2016

Kepada Ibuku


Surat Kedua
Hari Ke-2

Kepada,
Ibuku

Ibuku.
Manusia pertama yang mencintaiku lantas mengajarkanku mencintai yang lainnya.
Ibuku.
Yang pertama bangun di pagi tapi yang terakhir beristirahat saat malam menjelang.
Ibuku.
Yang pertama mencicipi masakan tapi yang terakhir menyendok makanan.
Ibuku.
Yang pertama memberi tapi tak lantas berharap menerima.
'Asal kalian bisa memenuhi kebutuhan kalian tanpa meminta kepada orang tua, itu sudah cukup.'
Kalimat itu acapkali terdengar saat yang lainnya membicarakan anak-anak mereka dan penghasilannya.

Ibuku.
Anakmu ini,sepertinya bebal sekali.
Tak pernah sekalipun berkata 'aku mencintaimu'. Maaf
Tak pernah sekalipun berkata 'aku bangga menajdi anakmu'. Maaf
Tak pernah sekalipun berkata 'aku bersyukur karena terlahir dari rahimmu'. Maaf
Tak pernah sekalipun berkata ' terimakasih untuk semua hal'. Maaf
Tak pernah sekalipun berkata 'maaf aku bersalah'. Maaf

Yang kulakukan hanyalah diam-diam menangis karena merasa bersalah padamu. Maaf
Aku selalu merasa 'aku yang paling banyak berkorban untuk keluarga ini'. Maaf
Aku selalu merasa 'aku telah membuatmu bangga'. Maaf
Aku selalu merasa 'aku adalah orang yang paling banyak tersakiti di keluarga ini'. Maaf

Ibuku.
Maaf. Maaf. Maaf.
Untuk banyak kalimat yang selalu tertahan di tenggorokanku. Aku tidak pernah bersikap seperti yang lainnya. Memelukmu. Menciummu. Membahagiakanmu. Mengobrol denganmu.
Ibuku.
Maaf. Maaf. Maaf.
Karena aku terus saja menuliskan kosakata itu ranpa pernah menyampaikannya padamu secara langsung. Nyaliku menjadi ciut saat aku di dekatmu. Kata itu menjadi terlalu sulit di ucapakan. Menjadi terlalu melanklonis. Dan itu seperti bukan diriku

Surat ini ibu, aku meyakini bahwa suatu hari nanti akan sampai padamu. Entah bagaimana caranya.

Jakarta, 01 Februari 2016
Dari anakmu yang diam-diam menangis saat mendengar lagu berjudul 'Ibu'.