Sabtu, 03 Oktober 2020

How Did I Meet You

(D-30)
Aku mencoba kembali ke hari itu. Saat pertama kali melihatmu di layar televisi—dalam sebuah acara ragam. Sayang sekali, aku tak ingat apapun. 

Kamu biasa saja dan mataku kala itu sudah terkunci pada sosok lain—yang jelas bukan kamu. Di punggungmu tak ada sayap, di kepalamu tak ada mahkota dan kamu hanyalah anak-anak waktu itu (sampai sekarang pun sebenarnya kamu tetap anak-anak dimataku). Kamu tidak bersinar dan aku belum pernah melihatmu tampil di atas panggung yang terang benderang. Jadi, bagaiamana mungkin seseorang yang biasa saja (kala itu menurut penilaianku) punya tempat khusus di kepalaku yang saban hari penuh itu?

Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta dan kamu bukan seseorang yang suka tebar pesona. Perkara suka, butuh waktu yang panjang.

Seperi papan-papan iklan di sepanjang jalan, aku mengetahui keberadaanmu tapi tak peduli sebab tujuanku seseorang di ujung sana dan bukan baliho-baliho itu. 
Seperti toko obat diantara deretan apotek, keberadaanmu terlihat seragam dengan yang lainnya. Perkara suka, butuh pengenalan yang dalam dibumbui rasa penasaran. Hanya saja tak kutemukan alasan kenapa aku harus penasaran tentang kehidupanmu.

Begitulah semua bermula—tak ada yang istimewa. Tapi hidup memang demikian, kadang menyajikan hal biasa saja yang di kemudian hari menjanjikan kebahagiaan yang luar biasa besar.

Minggu, 02 Oktober 2016

Sepotong Langit Dan Untaian Doa

Hujan turun mengiring lelah mengantar lelap
Seru deru angin  membuat hujan berdendang syahdu
Keping-keping biskuit mencoba mengantar bahagia
Kepada seorang perempuan yang takjim menghitung rintik air.

Di tempat lainnya seorang belia bergemuruh di jiwa dengan topeng
Acuh di wajah menanti gusar hari melepas janin.
Satu makhluk dalam rahim terlalu enggan hadir tanpa bapak.

Sekeliling ketar-ketir kalang kabut mencari cara mendapatkan angka-angka.
Seorang perempuan muda lelah mengeluh pada sekitar
Seorang pria lanjut usia berharap cemas kepada angin
Berharap dia tak menjatuhkan biji kopi yang sedang ditunggunya.
Seorang wanita paruh baya takjim berdoa untuk ladang juga padi yang beranjak tumbuh

Di sepotong langit pada malam di bulan Ramadhan
Doa-doa terlantun takjim dari mulut-mulut
Perempuan muda gadis belia pria lanjut usia juga wanita paruh baya
Berharap penuh pada kebaikan pemilik semesta
Untuk kemudahan dalam perkara gadis belia melepas janin.

Jakarta, 21 Juni 2016

Jumat, 30 September 2016

Kepada Adam

Aku datang padamu, Adamku
Bersama air mata yang rusuh memburu
Tersebab rasa sakit tak tertahan di jiwaku.
Aku percaya kau memiliki penawarnya

Pelukmu mungkin tak dapat menandingi kehangatan senja
Tapi bagiku kau seumpama pagi yang senantiasa memberiku asa
Ucapmu tak selalu dapat memupus lukaku
Tapi dengan kau disisiku rasa sakit tersamarkan.

Kumohon,
Tetaplah memeluk erat bahuku
Maka aku tak kan berpaling darimu
Berdirilah di depanku dan bantu aku meleawati badai
Jangan pernah lepasjan jemarimu dari tanganku sebab aku bisa goyah
Jadilah kuat untukku.

Kamu harus tahu,
Aku meyakini dengan sungguh keputusanku
Garis hidupku tentulah bersama denganmu
Aku memilihmu sebagai lelakiku.

Jakarta, 14 Maret 2016

Ps:Tulisan ini terinspirasi dari lagu berjudul 'Lelakimu'. Sengaja di buat penggalan kalimat sebagai jawaban dari lagu tsb.

Minggu, 25 September 2016

Teman Di Sabtu Malam





Kugoyang-goyangkan gelas kopiku. Kupandangi setengah isinya yang berwarna pekat. Lalu kualihkan pandangan pada kertas kosong dihadapanku. Pena hitamku masih tergeletak disana . Entah berapa lama aku sudah menunggu disini. Membiarkan pandangan menyibukan dirinya dengan keramaian.
Sabtu malam ini, langkah kaki menyeretku pada satu pojok yang menampilkan riuh rendah tawa juga obrolan berpasang kekasih.Hatiku makin teriris sakit. Mengingat penolakan yang baru saja kuterima siang tadi. Dan kopi hitam dihadapanku ini menambah pekat hariku. Pahit bertambah pahit.
Aku ingin melepas semua beban ini dengan makanan. Namun tiga puluh menit lalu aku hanya berputar-putar . menimbang mana yang setidaknya bisa sedikit memberikanku sensasi bahagia ditengah pilu. Dan aku hanya membawa duduk segelas kopi hitam.
Kusapukan pandangan keseliling dan kuputar-putar pena yang tadi kuletakan disamping buku yang kubawa.

***
Lalu kurasa seperti ada seseorang yang menyentuh pundakku.segera aku menoleh. Seorang pria berdiri disampingku.Dia tersenyum dan menyeret alam sadarku untuk mengagumi parasnya. Aku hanya mampu mengangukan kepalaku. Persis seperti pajangaan patung kucing di etalase toko.

" Sedang menunggu teman? " Tanyanya.
Aku menggelenkan kepalaku,lantas kulihat dia menarik keluar kursi kosong dihadapanku.
"Boleh aku duduk disini?" Lanjutnya sambil meletakan tas ransel di atas meja.
Lagi-lagi aku hanya menggeleng.
Dia melirik sekilas buku yang kuletakan diatas meja tadi. Yang belum kusentuh sedikitpun karena mandegnya ide.Kututup halaman kosong dan memasukan buku itu dalam tas.
Dia menopangkan dagu diatas telapak tangannya. 
"Mungkin jika kita mencari makanan dan perutmu kenyang, kamu bisa dapat ide yang mengalir dan menyelesaikan ratusan halaman buku malam ini." Ujarnya sambil terkekeh pelan.
Aku  tertawa mendengar candaannya. Kuanggukan kepalaku dan berdiri . Dia lantas ikut berdiri dan kami berjalan bersisian berkeliling  stand-stand mencari makanan yang menarik selera kami. 
Setelah berputar dan sempat bingung sebelumnya aku meutuskan untu memesan nasi goreng kambing kempuyuh.
"Hati-hati darah tinggi kamu, makannya  daging kambing."
Aku mengangguk. " Iya pak dokter, nanti daging kambingnya kupinggirkan dan dengan senang hati memindahkkannya kepiringmu. " Jawabku.
Dia mencubit pelan lenganku. " Harusnya kau tak memesan itu jika nanti ceritanya begitu." dengan muka seolah-olah merajuk.
"Aku sempat baca artikel tentang makanan ini tadi. Katanya rekomended, jadi aku tertarik untuk nyoba." Jelasku.


Lalu kami berjalan kembali. Dan dia berhenti untuk memesan semangkuk gudeg.


"Kenapa gudeg?".Tanyaku penasaran.
"Kangen rumah. Biar berasa pulang." Jawab dia singkat.
"Bagaimana Jogja?". Lanjutku
" Selalu baik dan bahagia kupikir. Tetap jadi rumah tempat pulang." Jawabnya sambil tersenyum kerarahku.
Kami lantas membeli dua botol air mineral sebelum kembali duduk dan menunggu pesanan kami diantar.
Setelah pesanan kami datang kami menikmatinya dengna lahap.
"Ini persis seperti gudeg Jogja yang kubayangkan. Dan aku pikir kamu tak mungkin mengatakan nasi goreng itu persis dengna yang kamu nikmati di rumah." Komentarnya setelah menyuap gudeg hangat yang dia pesan.
" Tentu jauh lebih enak nasi goreng kambing disini. Karena memang aku takj pernah membuatnya. " jawabku sambil tertawa pelan.
" Dan pantas jika ada artikel yang merekomendasikannya." Tambahku.
Lalu setelahnya kami berbincang-bincang. Saling melemparkan pertanyaan pribadi satu sama lain.
Makanan berat kami habis, lalu kami memesan es krim durian untuk menambah panjang obrolan kami.
Es krim durian yang bersanding dengan senyumannya sukses menutup bahagia malam ini. 


***

Kututup buku yang kini sudah terisi goresan coretan tginta hitam. Lantas aku disibukan hitung menghitung struk yang tadi kudapat. Satu porsi nasi goreng, satu porsi gudeg, dua botiol air mineral, dua gelas es krim durian juga secangkir kopi hitam. Kuhitungt total dan bersyukur aku masih memiliki sisa saldo di kartu yang kugunakan untuk pembayaran ini. Kupanadangi semua piring juga gelas kotor diatas meja. Ternyata aku rakus sekali jika sedang ingin mencari ide. SAku baru menyadarinya. Kombinasi patah hati dan sabtu malam sendirian diengah ramai.
Tak ada teman makan juga berbincang. Aku mengahbiskan semua makanan ditengah membuat cerita ini. Aku menikmati patah hatiku sendirian. tersenyum  bahagia karena perutku ternyata sangat kenyang.
Barangkali jiak besok lusa datang lagi kesini aku tidak memilih sabtu malam diaman iri akan bergelayut manja pada mereka yang datang berpasang-pasangan memesan makanan beragam.
Kecuali jika aku memang sedang ingin merencanankan  menjadi penderita obesitas.






Minggu, 04 September 2016

Yang Demikian Itu

Aku sedang terjatuh,
Eranganku tersamarkan gelegar dunia.
Lalu saat sunyi menepi,
Manusia-manusia menolehku.
Menyemangatiku, menyoraki aku.
Memberi dukungan.

Sayang sekali, aku butuh lebih dari sorak sorai.
Aku membutuhkan seseorang untuk menggenggam jari jemariku.
Membantuku berdiri kembali lantas berjalan bersisian.
Berlari berdampingan.
Sungguh, aku ingin yang demikian.

Tapi manusia-manusia sekelilingku tak ada yang demikian.
Bahkan untuk sekedar berdiri dibelakang dan mendorongku sekalipun.
Tak ada pula yang berdiri didepanku lantas menunjukan arah tujuan.
Tak ada.

Meski demikian tak kupungkiri satu hal.
Bahwa jauh disana ada seseorang yang senantiasa setia.
Mengirimi doa di lima pergantian waktu saban harinya.

Aku yang serakah ini tak kunjung merasa cukup dikirimi doa dalam hening.
Aku ingin tangan yang nyata-nyata menggenggam jemariku.
Menghangatkan sekaligus menenangkan.
Kapankah dia akan datang?
Seseorang yang demikian itu.

Jakarta, 06 Juni 2016

Kamis, 28 Juli 2016

Surat Kepada Pria Bertopi


Kepada Pria Bertopi
Yang Bernama Klasik 'BUDI'

Aku menagamatimu diam-diam. Sesekali aku memperhatikanmu secara seksama. Saat kesepuluh jarimu lincah berlarian diatas tuts-tuts keyboard QWERTY.
Kau tampak seperti magnet ditempat itu. Menarik banyak serpihan bubuk besi sekelilingmu. Aku tak terkecuali.

Dari hasil rekaman yang kusimpan dalam mataku, kuku jarimu menjadi paling dominan. Sedikit lucu tersebab kau memanjangkannya.
Akh, kau ini pria macam apa? Memanjangkan kuku? 
Begitulah kiranya benakku berujar.

Topi. Kau selalu mengenakannya. Tak pernah sekalipun kulihat beranjak dari atas kepalamu.
Dalam sekali waktu pernah aku melihat tulisan tanganmu. Bergaya miring dan rapih. Membuatku latah mengambil kesimpulan kau pria bertabiat halus.

Hingga hari ini, tak pernah sekalipun aku membuka percakapan pribadi denganmu. Meski di sepanjang tujuh bulan setiap jam enam sore aku melihatmu dan duduk dihadapanmu. Aku tak berani memulainya, meski hanya berbasa-basi. Yang keluar dari mulutku ini hanyalah barisan kalimat atas nama tugas pesuruh yang diucap berulang setiap harinya.

Aku yakin hingga hari ini kau tak pernah tahu namaku. Dan aku tak berniat memberitahumu. Sejujurnya ada surat yang pernah kutulis untukmu di Februari kemarin.  Awalnya kupikir aku akan berani mengatakan dimana surat itu kusimpan dan meminta kau membacanya. Namun kini keragu-raguan muncul. Ketidakpercayaan diri mendominasi benak.
Apalah aku? Pesuruh berpakaian lusuh yang bahkan tak mampu menarik perhatian manik matamu meski sedetik.
Aku benar-benar rendah diri.

Tahukah kau? Sebentar lagi akan tiba waktuku meninggalkan kota ini. Pekerjaan ini juga menemuimu di jam enam sore.
Semoga tak ada ruang kosong dihatiku saat aku beranjak pergi.
Aki berharap semesta bisa membuat skenario indah pertemuan kita di esok lusa. Dan bila hari itu tiba, aku ingin tidak lagi memakai label 'pesuruh berpakaian lusuh'.

Jakarta, 28 Juli 2016
Dari Pesuruh Berpakaian Lusuh

Sabtu, 16 Juli 2016

Alarm Yang Menjegal Impian

Letihku bertambah perih,
Dua orang datang menghampiriku,
Berkeluh kesah lantas meminta pertolongan.

Aku?
Berkata 'Ya'.
Tidak hanya hari ini,
Di hari bulan juga tahun yang berlalu,
Aku selalu berkata 'Aku akan membantu'
Tak kuasa menolak permintaan apapun dari mereka.

Apa dayaku?
Mereka keluargaku.
Sulit untuk mengatakan 'Tidak'.

Aku berkata 'tidak merepotkanku'
Seringkali hati kecil berujar sebaliknya.

Keluhan panjang,
Tangisan berderai,
Kunikmati sendirian.

Aku lelah aku diam.
Aku marah aku diam.
Aku benci aku diam.
Aku kesakitan, menangis dalam malam menjelang mimpi.
Sesekali aku bertanya 'mengapa harus terjadi padaku?'
Pertanyaan yang kemudian hilang untuk muncul kembali.
Tanpa jawaban, hanya pertanyaan sama yang berulang.
Meningggalkan sesak yang membuat pelupuk mata menggenang.

Aku lelah bertambah perih.
Semua kutanggung seorang diri.

Mimpi-mimpiku berhamburan lagi.
Meloncat melompat.
Tergelincir jauh. Jauh sekali.
Getir aku melihatnya.
Jerih aku memandangnya.
Mimpi-mimpi yang kembali tersisihkan.
Atas nama 'CINTA'

Aku benci pada cinta yang membuatku perduli.
Aku lelah pada perduli yang membuatku selalu berkorban.
Aku memeluk impianku erat-erat.
Dan manusia-manusia disampingku menubruk menindihku.
Impian itu masih kupeluk.
Namun rupa dan bentuknya sudah tak kukenali lagi.
Siapa yang bisa kusalahkan?
Cinta yang membuatku terlalu perduli?

Saat terjatuh dalam perihku.
Terisak dalam gelapku.
Ada seseorang yang menyuruhku menunggu.
Hati kecilku.
Sisi baikku.
Sisi optimisku.

Aku merasa usahaku terlihat sia-sia.
Pengorbananku menjadi tampak tak berguna.
Demi uang aku menjauh dari rutinitas yang mampi mendekatkanku dengan  pencipta.
Merapalkan doa memohon ampun di setiap waktu tanpa diikuti ibadah.
Demi uang yang kupikir dapat dengan segera menjemput mimpiku.
Tapi lihat hari ini?
Uang membuatku menangis tersedu.
Dia menjauh dariku menjegal usahaku mendekati mimpi.
Seperti alarm yang memutus tidur nyenyak.
Kalian sedikit banyak memutus mimpiku.
Yang indah.

Jakarta, 02 Juni 2016