Kamis, 28 Juli 2016

Surat Kepada Pria Bertopi


Kepada Pria Bertopi
Yang Bernama Klasik 'BUDI'

Aku menagamatimu diam-diam. Sesekali aku memperhatikanmu secara seksama. Saat kesepuluh jarimu lincah berlarian diatas tuts-tuts keyboard QWERTY.
Kau tampak seperti magnet ditempat itu. Menarik banyak serpihan bubuk besi sekelilingmu. Aku tak terkecuali.

Dari hasil rekaman yang kusimpan dalam mataku, kuku jarimu menjadi paling dominan. Sedikit lucu tersebab kau memanjangkannya.
Akh, kau ini pria macam apa? Memanjangkan kuku? 
Begitulah kiranya benakku berujar.

Topi. Kau selalu mengenakannya. Tak pernah sekalipun kulihat beranjak dari atas kepalamu.
Dalam sekali waktu pernah aku melihat tulisan tanganmu. Bergaya miring dan rapih. Membuatku latah mengambil kesimpulan kau pria bertabiat halus.

Hingga hari ini, tak pernah sekalipun aku membuka percakapan pribadi denganmu. Meski di sepanjang tujuh bulan setiap jam enam sore aku melihatmu dan duduk dihadapanmu. Aku tak berani memulainya, meski hanya berbasa-basi. Yang keluar dari mulutku ini hanyalah barisan kalimat atas nama tugas pesuruh yang diucap berulang setiap harinya.

Aku yakin hingga hari ini kau tak pernah tahu namaku. Dan aku tak berniat memberitahumu. Sejujurnya ada surat yang pernah kutulis untukmu di Februari kemarin.  Awalnya kupikir aku akan berani mengatakan dimana surat itu kusimpan dan meminta kau membacanya. Namun kini keragu-raguan muncul. Ketidakpercayaan diri mendominasi benak.
Apalah aku? Pesuruh berpakaian lusuh yang bahkan tak mampu menarik perhatian manik matamu meski sedetik.
Aku benar-benar rendah diri.

Tahukah kau? Sebentar lagi akan tiba waktuku meninggalkan kota ini. Pekerjaan ini juga menemuimu di jam enam sore.
Semoga tak ada ruang kosong dihatiku saat aku beranjak pergi.
Aki berharap semesta bisa membuat skenario indah pertemuan kita di esok lusa. Dan bila hari itu tiba, aku ingin tidak lagi memakai label 'pesuruh berpakaian lusuh'.

Jakarta, 28 Juli 2016
Dari Pesuruh Berpakaian Lusuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar