Kamis, 18 Februari 2016

Membelakangimu

Surat Keduapuluh
Hari Ke-20

Kepada
Langitku

Langitku.
Sore itu, saat aku bertemu denganmu aku langsung menyukaimu. Sangat. Yang kau tampakkan di hadapanku sungguh menakjubkan.Gumpalan awan-awan dengan ragam bentuk berbaris acak berwarna jingga.Matahari, aku tak tahu kau dimana. Mungkin sudah menghampiri laut. Kau yang berwarna biru entah jenis apa, terlihat sangat damai.

Sore itu langitku, aku baru saja kehilangan satu kesempatan berharga. Dan kau sempurna menjadi pengobat luka.
Hanya saja sayang. Karena aku harus berjalan menjauhimu juga membelakangimu.
Langitku. Situasi sore itu mengingatkanku pada seseorang. Lebih tepatnya perjalananku yang terpaksa harus berlawanan denganmu membuatku sedikit menyamakan sore itu dengan hidupku.

Tahukah kau? Langitku.
Aku sedang berjalan membelakangi kenangan. Hatiku terkadang rikuh ingin kembali kesana. Tapi kepalaku berkata itu adalah pilihan yang buruk. Tidak beranjak berarti kamu mati. Begitu katanya.
Aku tidak rindu. Tidak juga patah hati. Tapi ada rasa yang entah apa namanya. Aku belum menemukan jawaban.

Langitku. Sungguh aku tak beruntung sore itu. Hilang sudah senja mengagumkan dari pandangan mataku.
Mengapa aku mudah sekali kehilangan bahkan ketika aku belum sempat memilikinya?

Jakarta, 19 Februari 2016
Dari seorang yang kehilangan 'sempat'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar