Senin, 01 Februari 2016

Kepada Ibuku


Surat Kedua
Hari Ke-2

Kepada,
Ibuku

Ibuku.
Manusia pertama yang mencintaiku lantas mengajarkanku mencintai yang lainnya.
Ibuku.
Yang pertama bangun di pagi tapi yang terakhir beristirahat saat malam menjelang.
Ibuku.
Yang pertama mencicipi masakan tapi yang terakhir menyendok makanan.
Ibuku.
Yang pertama memberi tapi tak lantas berharap menerima.
'Asal kalian bisa memenuhi kebutuhan kalian tanpa meminta kepada orang tua, itu sudah cukup.'
Kalimat itu acapkali terdengar saat yang lainnya membicarakan anak-anak mereka dan penghasilannya.

Ibuku.
Anakmu ini,sepertinya bebal sekali.
Tak pernah sekalipun berkata 'aku mencintaimu'. Maaf
Tak pernah sekalipun berkata 'aku bangga menajdi anakmu'. Maaf
Tak pernah sekalipun berkata 'aku bersyukur karena terlahir dari rahimmu'. Maaf
Tak pernah sekalipun berkata ' terimakasih untuk semua hal'. Maaf
Tak pernah sekalipun berkata 'maaf aku bersalah'. Maaf

Yang kulakukan hanyalah diam-diam menangis karena merasa bersalah padamu. Maaf
Aku selalu merasa 'aku yang paling banyak berkorban untuk keluarga ini'. Maaf
Aku selalu merasa 'aku telah membuatmu bangga'. Maaf
Aku selalu merasa 'aku adalah orang yang paling banyak tersakiti di keluarga ini'. Maaf

Ibuku.
Maaf. Maaf. Maaf.
Untuk banyak kalimat yang selalu tertahan di tenggorokanku. Aku tidak pernah bersikap seperti yang lainnya. Memelukmu. Menciummu. Membahagiakanmu. Mengobrol denganmu.
Ibuku.
Maaf. Maaf. Maaf.
Karena aku terus saja menuliskan kosakata itu ranpa pernah menyampaikannya padamu secara langsung. Nyaliku menjadi ciut saat aku di dekatmu. Kata itu menjadi terlalu sulit di ucapakan. Menjadi terlalu melanklonis. Dan itu seperti bukan diriku

Surat ini ibu, aku meyakini bahwa suatu hari nanti akan sampai padamu. Entah bagaimana caranya.

Jakarta, 01 Februari 2016
Dari anakmu yang diam-diam menangis saat mendengar lagu berjudul 'Ibu'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar