Jumat, 09 Januari 2015

Bunga,Dinding Jendela (Cerita Cinta)

kota tua dan sepedah tua by nonakumis

Rasanya segar sekali udara pagi ini. Kota ini memang menawarkan keheningan, persis seperti yang kuharapkan. Tidak salah aku memilihnya untuk menenangkan hat idan pikiranku. Meninggalkan semua rasa penat dan lelah yang memburuku di ibukota. Jika hanya urusan pekerjaan saja aku tak perlu harus repot-repot mengungsi sejauh ini.

Kulihat langit menampilkan semburat warna kemerahan khas fajar. Aku suka momen ini. Pagi. Saat gelap dengan sendirinya hilang dan berganti dengan terang. Langit buatku seperti doa seorang ibu. Menenangkan, memberi rasa aman. Dan pemandangan langit pagi yang berwarna kemerahan terhalang oleh kabut pegunungan membuatku merasa nyaman. Seo;ah Tuhan sedang berkata padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Malam selalu berganti menjadi pagi. Dan gelap akan pelahan memudar seiring datangnya matahari. Pagi ini kuputuskan untuk berjalan-jalan sejenak di pematang sawah di belakng rumah.

Bau ini, aku merindukannya.membawa ingatanku terlempar pada ingatan duapuluh tahun yang lalu. Saat semuanya berawal. Mimpi harapan dan cinta.
Awalnya semuanya berjalan baik- baik saja. Mimpi dan harapan bisa kuraih dengan usaha dan kerja kerasku. Lulus kuliah tepat pada waktunya,dengan IPK yang memuaskan, dan berhasil menjadi salah satu editor di perusahan penerbitan. Tapi untuk yang terakhir, aku tak bis amewujudkannya. Cinta. Sekiranya cinta itu juga bisa berjalan beriringan dengan usaha dan kesuksesan. Tapi kenyataannya,tidak.

Tinggak dikota yang sama dan bekerja di kantor yang sama tak lantas membuat aku bisa berjalan bergandengan dengannya. Bahkan meskipun kami punya banyak hobi dan kesamaan tak mampu membuat kami mempunyai perasaan yang sama.Dia tetap berada luar jangkauanku. Dan aku hanya bisa menatap punggungnya saja dari belakang. Hanya itu, tak pernah lebih. Bahu yang kuimpikan jadi empat sandaran di kala penat itu hanyalah impian yang semu.
                                                ****
“neng,kade hati hati nya. Galengan na leueur da wengi nembe hujan”
Itu pesan bibiku tadi sebelum berangkat.
“kahade geubis,alon-alon we mapahna. Ngke0 bibi nyusul mun si asep tos angkat ka sakola.”
                                                ****
Aku sudah jatuh bi, bahkan jauh sebelum aku menginjakan kaki di pematang sawah ini. Jatuh di kubnagan lumpur yang sama, berulang kali. Hingga sulit untukku dapat melihat jalan mana yang bis kupijak. Dan disaat kaki ini kulangkahkan kembali,aku tergelincir lagi dan lagi.selalu begitu.satu langkah,aku tergelincir, bangun lalu melangkah lagi dan baru dua langkah aku harus tergelincir lagi. Seterusnya begitu. Hingga ku memutuskan untuk merangkak saja. Setidaknya tenagaku tak habis untuk hanya sekedar berusaha berdiri tegak.

Dan disisnilah aku sekarang, setelah merangkak Setahun lebih. Bukan dalam arti sebenarnya,karena itu mustahil.  Aku menyerah. Menyerah untuk cinta. Tak ada celah lagi. Takada kesempatan. Semuanya sudah selesai. Usahaku, sepertinya sia-sia saja.
                                      ****
“hari minggu ini kosong ga?”
“kosong,kenapa emangnya?
“gue mau ajak lo maen ke kota tua”
“cie..lagaknya kayak pendatang baru. Wisatanya ke kota tua euy..”
“ngeledek lo, ikut ga? Gue lagi ada project.”
“project apaan tuh? Mencatat sejarah penjajahan kompeni ya, ha..ha…”
“ aw..sakit bego! Apa yang lo lemparin barusan hah?!”
Aku secara otomatis menoleh  lantai dan menemukan sebuah  penjepit kertas.
“ikut ga?” lanjutnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“ok,lo jemput gue jam sepuluh besok.”
“makasih Rere,lo emang temen gue yang paling nurut,”katanya sambil mengacak rambutku dan berjalan ke pantry yang terletak persis didepan ruangan kerja kami.
Ah, mana bisa aku menolak permintaannya. Aku tak pernah berdaya untuk itu. Dia adalah matahari buatku.tak pernah berubah dari belasan tahun yang lalu,ketika kami masih menggunakan seragam merah putih.
                                      ****
Minggu pagi, jam sepuluh kurang lima belas menit dia sudah datang menjemputku. Dengan memakai kaos warna putih dan jaket jersey Barcelona di padu celana jens selutut serta topi dia tanpak tetap menawan buatku. Pesonanya tak pernah luntur sedikitpun. Selalu sama.

“langsung berangkat ya Re, lo udah sarapan blom?”
“udah. Lo sendiri?”
“belom,ntar aja gue nyari makanan disana. males nyarinya tadi.”
“jangan dibiasain pergi dengan perut kosong, lo punya mag. Kalo sakit yang berabe gue. Gantiin tugas lo dikantor lah,nyariin obat, nyariin makanan.”
“ya elah, lo perhitungan banget Re, gue kan temen lo. Oh, dan bahkan sebenernya lo itu malaikat gue lagi. Selalu siaga saat gue kesulitan,”
Senyum itu,rasanya aku ingin memotretnya dan menyimpannya diingatanku.
                                                ****
“sebenernya apa yang lo cari disini sih?” tanyaku sesampainya kami tiba di kota tua.
“jendela,”
“gue pengen motret jendela disisni. Ada cewek yang lagi gue suka.”

Deg. Seketika rasanya jantungku jatuh ketanah. Dia sedang menyukai orang lain. Itu berarti aku gagal menembus celah yang ada. Esok lusa aku harus kembali melihatny bergandengan dengan wanita lain. Sungguh, tak ada yang lebih perih dari itu. Kenapa kau terus saja mencari,ketika ada aku yang akan selau ada buat kamu, Brian.

“lo ga nanya gue, apa hubungannya jendela sama tu cewek Re?”
“ hem..gue lagi mikir nih,”ucapku berbohong.
“wah, pinter ya lo. Mikir dulu baru nanya.”
“dia itu suka jendela re, Karena dulu dia pernah jatuh cinta lewat jendela. waktu itu ada seoarng cowok yang menarik perhatiannya saat sedang menikmati senja lewat jendela rumahnya. Dan ternyata cowok itu tetangga barunya yang nempatin rumah di sebrang rumahnya.”
“terus, dimana spesialnya jendela,” kataku menyela.
“makanya,dengerin dulu gue cerita. Jangan potong dulu.
“ jadi gini,”

Dan dia pun melanjutkan ceritanya.

“dia itu tak pernah sekalipun berkenalana sama tetangga barunya itu. Yang dia lakukan Cuma mengintip apa saja aktifitas tuh cowok lewat jendela. tiap pagi, sore  sampai malam pasti dia akan sempatkan waktunya buat monitor tuh cowok. Sampai akhirnya tuh cowok pindah,dia ga juga tah namanya siapa,no telp nya berapa. Tapi ia mengenal kebiasaan cowok itu yang setiap paginya minum segealas air putih saat bangun pagi sambil buka jendela. pokoknya dia hapal apa yang dilakuin tuh cowok dikamarnya stiap hari. Dan dia mengabadikannya lewat foto.”
“terus kenapa lo sekarang mau fotoin jendela buat dia? Foto buat seorang cewek yang jelas-jelas mendamba laki-laki laen.”tanyaku
‘” Justru itu Rere. Gue mau nunjukin kedia,apa yang bisa kita liat dari luar jendela. apa yang bisa kita temukan saat kita mengambil gambar justru bukan dari dalem rumah. Tapi dari luar jendela. tempat persembunyiannya.”
“gue mau nunjukin kedia,kalo diluar sini ada seseorang yang menyukainya, dan sudah tiba waktunya dia beranjak dari tepi jendela dan menghampiri gue. Bukan hanya duduk diam disana sambil menunggu entah apa yang hendak datang.”
“sejauh ini perkembangannya gimana? sama tetangga sebrang jendela lo itu?”
“kenapa lo punya pertanyaan gitu ke gue? gue kan ga bilang kalo gua tetangganya tuh cewek.”
“Gue editor Brian, tau kemana arah penjelasan lo bermuara.”
“gue tahu,lo perhatiin tu cewek udah lama. Selama cewek itu menunggu lewat jendalanya. 
Kesimpulannya cupid mengarahkan panah cinta buat kalian dalam waktu yang hampir bersamaan. Lo jatuh cinta dari pertama kali dia perhatiin lo pas pindahan.”
“ha..ha..lo pinter Re.”
‘yang masih gue heranin,kenapa baru sekarang lo deketin dia? Setelah lo pindah rumah? Kenapa ga dari dulu aja lo samperin?”
“gue suka di puja diam-diam Rere,”katanya sambil tersipu.
“saat ada yang menyukai gue diam-diam tuh rasanya gue ngerasa special. Gue jadi penting buat dia, tanpa pernah ia katakana sebelumnya.”
Sudah siftnya,kataku merutuk dalam hati.
“hey,gue tuh apa gitu ya. Sampai punya secret admirer gitu?’”katanya sambil tertawa bangga.
“Trus,lo mau nembak dia gitu?”
“betul sekali Rere, ntar malem gue kerumahnya.bawain foto ini.’”Katanya sambil nunjukin gambar jendela yang  pada sebuah tembok .dibawahnya ada pot bunga.
“gambar yang menarik,” kataku.
“ seperti jawaban pada sebuah penantian,’bukalah jendelamu, dan kuu akan meihat aku disini,di luar jendela dan menungguimu datang menghampiriku.’  Mungkin.”
“hey,perumpamaan yang menarik.gue suka.’
“lo dukung gue kan Re?”
“selama ini apa sih tindakan lo yang ga gue dukung Brian,’ ujarku pelan.
“lo emang temen gue paling pengertian” seraya memelukku.

Itu adalah pelukan terakhir yang  kuingat darinya. Setelah hari itu, kami tak pernah jalan bersama lagi. Senyum dibibirnya tetap terukir setiap pagi saat bertemu di kantor. Tapi senyum itu bukan karena aku yang ada dihadapannya, mealinkan seseorang diasana yang selalu menunggunya di tepi jendela.

Setahun kemudian aku aku mendapatkan surat undangan pernikahannya. Brian Wardana & Langit Senja.
                                                ***
Aku berbahagia untuk pernikahannya. Teman selalu bahagia atas kebahagiaan temannya bukan?
Lalu kenapa aku lari? Kenapa aku ada disisni, di sebuah perkampungan di kaki gunung galunggung sekarang?

Karena sungguh, berbahagia untuk kebahagiaan orang yang dicintai itu sulit. Jika ia memilih melewatkan sisa hari-harinya bersama perempuan lain. Bukan aku. Mencintai tanpa memiliki itu hampa. Kosong.

Apakah aku selama ini tak pernah menyatakan perasaanku padanya? Berpuluh-puluh kali. Bahkan ratusan kali aku menyampaikannya. Dan apa jawabnya?
Saat ini celah itu belum bisa untuk kaumasuki Rere,mungkin esok atau lusa saat waktu menakdirkan kita untuk menjadi lebih dari seorang teman. Waktu itu pasti datang Re,aku tahu kamu baik. Baik banget. Tapi tidak untuk menjadi bagian dari hatiku. Belum pas  Re. Jika waktunya tiba,cinta itu datang padaku. Secepatnya kukabari.

Jawaban itu selalu berulang saat aku membicarakan perasaanku padanya. Seperti kaset yang diputar berualng ulang. Hingga kusut.

Takdir mungkin memang tak menghendaki kami bersama. Seperti tembok,jendela dan bunga. Meskipun bunga itu cantik,semua orang suka,tempatnya bukan menempel di tembok. Ia harus tumbuh di tanah. Entah itu  tanah di pot, atau tanah yang menempel dibumi sekalipun. Dan jendela, memang akan selalu menempel di tembok. Menua bersama, terkelupas bersama,dan hancurpun bersama.

Meskipun aku seumpama bunga, indah. Tetap saja tembok tak kan pernh menjadi tempatku tumbuh,menua dan mati bukan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar