Senin, 19 Januari 2015

Sepatu




Sepatu.
Dua stengah tahun aku bekerja di sebuah pabrik sepatu di wilayanh Tangerang dan baru mengundurkan diri di akhir tahun 2013. Aku bekerja sebagai operator produksi di pabrik ini. Strata terendah dalam sebuah industri. Karena memang, hanya itulah yang tersedia untuk seorang anak yang baru lulus sekolah. Menurut pandanganku.

Dua setengah tahun, pahit manis telah kulewati disana. Tapi ini bukan tentang cerita pembuatan sepatu. Ini akan bercerita tentang pengalamanku bersama sebuah benda bernama SEPATU.

Aku lahir di keluarga dengan tingkat pendapatan rendah. Ayahku seorang petani yang mengurus satu dua petak sawah. Jika memang beruntung, terkadang ada yang mengajaknya menjadi kuli bangunan. Ketika aku kecil dulu itu adalah pekerjaan terkeren ayahku. Bagaiman tidak,beliau akan pergi bekerja di Jakarta,itu hebat sekali bukan. Dan ketika beliau pulang, dia akan membawakan kami oleh-oleh berupa satu kilogram jeruk. Itupun sudah cukup membahagiakan.

Dulu sekali, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, kenaikan kelas adalah momen dimana semua perlengkapan sekolah yang lama akan berganti menjadi pelengkapan sekolah baru. Bagi yang mampu. Sayangnya, aku tidak selalu masuk dalam golongan yang satu ini. Tak setiap ajaran baru aku beruntung dapat berganti perlengkapan sekolah yang baru. Aku tak ingat detail berapa kali dalam enam tahun ada yang baru yang kupakai.

Aku, adalah tipe manusia yang akan mudah sekali melupakan hal-hal manis berupa sebuah kebahagiaan dan akan selalu mengingat hari-hari buruk yang pernah kulewati. Itu sebanya, aku sudah lama ingin menuliskan hal ini, sepatu dan hari burukku.

Ketika musim penghujan datang,aku melewati hari-hari terburukku. Bahkan sebelum aku bisa mencela hujan itu sendiri. Bagaimana tidak, ketika musim penghujan datang aku harus bersiap untuk memakai sepatu yang bau asap. Kenapa demikian. Karena aku hanya punya sepasang sepatu. Hanya satu pasang saja. Jadi ketika hari hujan dan aku terpaksa pulang hujan-hujanan yang terjadi selanjutnya adalah sepatuku basah. Dan karena hanya punya sepasang saja, sesampainya dirumah aku akan mengeringkan sepatu itu didepan api tungku ketika ibuku sedang memasak. Keesokan paginya, jika beruntung sepatu itu kering, namun tak jarang sepatunya tak kering sempurna. Jadilah aku berangkat sekolah dengan sepatu basah yang bau asap. Basah saja tak mengapa, tapi terkadang  kesedihanku bertambah ketika aku menyadari bahwa alas kakiku itu ternyata sudah bolong. Tepat di bagian tumit, karena intensitas gesekan yang tak sebentar antara sepatu dan aspal jalanan. Ada satu ketika, diamana aku melihat sepatuku yang sedikit terbuka pada bagian sisi-sisi yang dilem. 

Berapa harga sepatu waktu itu?
Aku bisa mengingatnya angka rupiahnya dengan baik . Dua puluh lima ribu rupiah untuk sepatu dengan merk ATT dan tiga puluh ribu rupiah dengan merk NB. Jumlah rupiah yang sedikit jika aku menilainya di hari ini. Tapi di dua belas tahun yang lalu, uang sejumlah itu sama dengan upah mencangkul ayahku selama dua hari. Jika uang itu digunakan untuk membeli sepatu, lalu bagaimana dengan perut kami sekeluraga. Dan lagi, tak setiap hari juga ayahku mendapatkan unag. Itulah sebab aku hanya bisa berpasrah pada kenyataan yang ada. Melewati satu tahun kedepan dengan sepatu yang sama di tahun sebelumnya.

Mengingatnya, aku bisa mengasihani diriku sendiri, Seorang anak perempuan kecil dengan sepatu yang sama sepanjang tahun, bahkan berlanjut di tahun berikutnya. Tak pernah ada yang spesial di tahun ajaran baru, meskipun dia telah berhasil masuk rangking tiga besar dikelasnya. Itulah sebab kenapa aku tak menjadi seseorang yang ambisius, sampai sekarang. Apalah gunanya berprestasi jika tak ada penghargaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar