Sabtu, 10 Januari 2015

Penjaja Nasi Uduk Dengan Dua Kata Pemutus Harapan



Aku menemukannya dalam sebuah linimasa di suatu pagi bulan Januari. Dalam sebuah potret berlatarkan musim gugur.

Ada yang menarik mataku pada potret itu. Bukan, bukan dia yang sedang berdiri  Melainkan sebuah view di belakangnya. Sebuah latar yang bercerita. Tentang sebuah harapan yang telah terhapuskan waktu. Daun yang berserakan. Aku menikmatinya sebagai sebuah cerita.

Ketika itu, iseng kutanyakan dimana tempat dia dalam potret itu. Jawabannya, Donghaksan.
Itu membuatku semakin penasaran,
'Siapa dia?'
'Sedang apa di negerri gingseng sana?'
'Liburankah, atau kerjakah?'

Dan aku mendapatkan jawabannya. Sebuah jawaban tak logis dari seseorang yang katanya mengenal teman sekelasku.

'JUALAN NASI WUDUK'

Aku mengernyitkan dahi, apalah lagi itu.
'Nasi wuduk?'
'Samakah dia dengan nasi uduk?'

Dengan bodohnya aku menanyakan lagi jawabannya, kali ini aku minta dia mnenjawabnya dengan sungguh-sungguh. Lalu apa katanya?

'Iya, bener jualan nasi uduk di korea.'
'Ih jualan uduk,bsok mah mau jualan TO tuh ngambil ti si ***'
'si *** juga lagi di Ethiophia (penyalur TO)'

Bodoh, kalau saapai aku percaya pada bualannya.
Tak adalah cerita nasi uduk itu, atupun TO alias tutug oncom.

Aku membual padanya akan membuatkan sebuah artikel tentang itu. Akan kuberi judul 'Nasi uduk yang menjelajah Korea'.

Tapi, yang menarik bukan pada nasi uduk dan korea. Akhir dari perckapanlah yang membantuku menemukan sebuah kalimat baru.


Ketika percakapan di 'chat' sudah sampai di kata 'he..' itu sama dengan kata 'TAMAT' yang tertera di akhir halaman sebuah novel.'

Kalimat itu kutemukan pada saat dia menuliskan 'He..'
Dua huruf yang membunuh sebuah keisengan. Dalam pencarian teman.
Dan itu tejadi pada banyak pesan di sosial media.

Sebenarnya, mungkin akan lebih baik ketika sebuah perckapan pada sosial media di tuliskan dalam bentuk yang lebih sederhana. Dengan tidak menuliskan apapun. Sepertinya akan jauh lebih baik.
Sayangnya, sebagian merasa jika dua huruf itu adalah bentuk dari mengakhiri obrolan yang paling sopan. Bentuk penolakan yang halus.
Lalu apa bedanya, sebuah penolakan tetaplah penolakan, Seperti apapun cara menyampaikannya toh tetap saja bentuknya penolakan. Negatif.

Tulisanku kali ini, adalah sebuah janji diriku sendiri. Karena pada saat yang bersamaan dengan itu. Aku telah menuliskan sebuah keinginan menulis. Untuk penjual Nasi Uduk di Korea sana.
(Korea adalah  kesimpualanku sendiri, omong-omong).

Terlihat seperti sebuah kemarahankah tulisan ini?
Aku harap tidak.

Karena aku tidak marah sama sekali. Aku hanya kecewa. Pada sebuah jawaban yang tak pernah bisa dicerna akal sehat. JUALAN NASI UDUK.

Kecewa atas apa? Apa pula dasarnya?

Aku, tidak sedang mencari perhatian sama sekali. Aku hanya ingin dia bisa sedikit memberiku cerita. Yang bisa menginspirasi siapapun yang membacanya. Ini serius. Aku menikmati sebuah cerita perjalanan. Menikmati sebuah proses pencapaian. Dan jika memang itu baik untuk di bagi, kenapa pula harus disimpan sendiri. Sebuah proses macam apapun itu selalu punya nilai. Aku percaya itu.

Penjual nasi uduk di belahan bumi sana, omong-omong aku tidak menemukan kata kunci 'donghaksan' di google.

Tapi, setidaknya terimakasih untuk dua kata yang membuatku mnemukan sebuah rangkaian kaliamat  baru. Selamat menikmati perjalanannya, jika itu memang benar sedang kau lakukan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar