Jumat, 09 Januari 2015

Setengah setengah




Libur panjang tahun baru terpaksa hanya kuisi dengan kegiatan tidur dan menonton televisi. Apalah daya, keterbatasan memaksaku untuk berdiam diri disaat yang lain bisa berlibur dan pulang ke kampung halaman, Dan ketika yang lain membawa senyuman selepas bertemu kangen, aku mendapatkan secercah harapan dari kegiatan membosankan di libur panjangku.  

Berawal dari sebuah film layar lebar yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta di masa libur panjang, aku menyadari satu hal. Kenapa aku tidak pergi kemana-mana padahal disaat yang bersamaan teman-temanku sudah menjelajah kemana-mana. Kenapa aku masih terlihat sama dengan diriku di sepuluh tahun yang lalu, padahal disaat yang bersamaan semua teman-teman sebayaku telah banyak berubah, Dalam banyak hal. Kepribadian, relation, karir. Kenapa aku tidak punya apa-apa padahal di saat yang bersamaan teman sebayaku telah mengumpulkan materi yang tak sedikit.

Dan jawaban dari semua pertanyaanku terjawab sudah.

Setengah-setengah.

Sepanjang enam belas tahun, dimulai dari hari dimana aku menginjakan kaki di sebuah bangunan bernama 'sekolah'  aku tidak pernah benar-benar mempunyai tujuan hidup.Tidak pernah benar-benar tahu, apa yang ingin kulakuakan, menjadi, seperti apa nanti dimasa yang depan. Ketika pagi dimulai, aku ingin segera dia berlalu dan berganti malam.Dan saat malam mulai datang, aku ingin cepat-cepat memburu pagi. Tanpa pernah tahu, sebenarnya apa yang kuinginkan dari percepatan waktu itu sendiri.

Cukup.
Hidupku berhenti di satu kata itu. Cukup makan, cukup tidur, cukup bermain, cukup belajar. Tak pernah ingin mengejar apapun, tak pernah ingin terlihat lebih, Lebih cantik, lebih pintar, lebih gaul. 
Semuanya benar-benar berhenti di kata cukup. Cukup dengan melakukan hal yang bisa dilakuakan, tanpa pernah memacu diri untuk berbuat lebih dari cukup. Padahal sebenarnya bisa. Aku bisa menjadi seseorang yang lebih dari 'AKU' sekarang seandainya dimasa yang sudah lewat itu aku melakukan semua hal seribu persen.

Aku menyukai pelajaran matematika, hanya saja sebatas 'suka' bukan cinta. Hanya bersemangat untuk rumus-rumus yang mudah dihafal. Menjawab soal matematika yang dimengerti tanpa pernah mencari jawaban dari soal yang sulit. Matematika-ku hanya berakhir di angka delapan pada sebuah kertas di akhir masa sekolah.

Aku menyukai buku. Tapi tidak mencintainya. Bacaanku hanya terbatas pada genre fiksi yang kusukai dan mengabaikan genre lainnya. Dan pada akhirnya, aku hanya berakhir menjadi pembaca saja. Tak beranjak selangkahpun. Kebodohanku, membawaku pada sebuah penyesalan di hari ini. 
'Harusnya dulu aku membaca buku sejarah.'
'Harusnya dulu aku membaca buku biografi.'
'Harusnya dulu aku membaca buku kumpulan puisi.'
'Harusnya dulu aku membaca buku sastra.'
'Harusnya dulu, aku tidak hanya membaca, tapi belajar menulis.'
Segala sesuatunya telah terlamabat sekarang. 

Aku belajar menari jaipong di  sekolah dasar. Hanya saja aku berhenti di kata 'cukup hadir di jam saat latihan tanpa pernah benar-benar menyukainya'. 

Aku belajar gamelan di sekolah dasar. Dan aku berhenti di alat gamelan yang paling mudah dikuasai. Tanpa pernah menjadi pemain gamelan yang penting untuk diajak tampil.

Aku mengikuti kegiatan organisasi saat sekolah menengah. Hanya saja aku berhenti di kata ' cuma ingin jadi anggota' tanpa pernah ingin menjadi pengurus didalamnya.

Aku penghafal yang cepat. Di tempatku belajar mengaji dulu, aku selalu unggul jumlah hafalan surat-surat pendek. Hanya saja, hafalanku hanya berhenti untuk menjadi unggul diantara kawan-kawanku di tempat itu saja. Cukup menjadi unggul di satu tempat saja.Tak pernah memacu diri untuk menjadi lebih unggul diluaran.

Aku bersekolah di sekolah kejuruan dengan jurusan akuntansi. Logikaku bisa diandalkan saat ada tugas untuk membuat sebuah laporan keuangan berdasarkan soal yang diberikan. Dan lagi-lagi aku hanya berhenti di kata cukup mendapat nilai delapan di kertas ijazah. 

Hidupku tak kemana-mana saat aku merasa cukup. 

Ada banyak hal yang kulakuakan berhenti di kata 'CUKUP'.
Dan aku baru menyadarinya, di sisi lain kata itu melumpuhkan ambisiku.

Tapi kali ini, aku tidak akan menggunakan kata itu lagi. Harus ada pencapaian 'LEBIH DARI CUKUP'.

Tidak berhenti di kata 'CUKUP MENULIS'
Harus berhenti di kata 'MENULIS UNTUK DITERBITKAN DAN BERMANFAAT'.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar